Suara.com - PT Sentratama Niaga Indonesia (SNI) dan PT Natura Wahana Gemilang (NWG) anak perusahaan dari Wilmar International Ltd Singapura digugat oleh Farma International Pte. Ltd ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan kasus dugaan pengambilalihan saham PT Lumbung Padi Indonesia (LPI) secara tidak sah dan melawan hukum.
Selain Farma International, gugatan perdata tersebut juga diajukan oleh Fara Luwia, wanita pengusaha Indonesia, yang juga menjadi pemegang 100% saham Farma International Pte. Ltd, yang berkedudukan di Singapura.
Dalam berkas gugatannya, selain PT SNI sebagai tergugat I dan PT Natura Wahana Gemilang sebagai tergugat II, juga terdapat PT Lumbung Padi Indonesia sebagai turut tergugat.
Tergugat yang disebut terakhir merupakan perusahaan pengolahan padi dan beras modern terpadu yang didirikan Fara Luwia di Mojokerto, Jawa Timur, pada 2009. Di PT Lumbung Padi Indonesia (LPI), Fara Luwia melalui Farma International, merupakan pemegang saham mayoritas.
Baca Juga: Gugat AHY, Jhonny Allen Minta Jangan Ada PAW Dirinya Dari DPR
Melky Pranata Koedoeboen, kuasa hukum Fara Luwia dan Farma International, menjelaskan gugatan perdata tersebut terpaksa ditempuh karena PT SNI dan dua tergugat lain diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menciptakan utang-utang yang harus ditanggung kliennya dengan tujuan mengambil alih saham PT Lumbung Padi Indonesia.
“Para tergugat tanpa iktikad yang baik mengambil alih 100% saham PT Lumbung Padi Indonesia dengan cara menciptakan utang hingga ratusan miliar untuk menyingkirkan klien kami dari perusahaan itu,” ujar Melky seusai mendaftarkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Jumat (26/3/2021) kemarin.
Secara rinci, Melky memaparkan kasus tersebut bermula ketika pada 2017 PT LPI mengalami kesulitan membayar utang kepada sejumlah kreditur yakni Maybank, Mattsteph Holding, Emerging Asia Capital Partners (EACP) dan TAEL Group. Keseluruhan nilai utang tersebut mencapai sekitar Rp 286,8 miliar.
Dalam situasi tersebut, Darwin Indigo yang merupakan Country Head Wilmar International Ltd untuk Indonesia, menawarkan kerja sama bisnis kepada Fara Luwia dalam rangka pengembangan usaha sekaligus membantu menyelesaikan utang-utang tadi.
Namun, lanjutnya, setelah kerja sama disepakati, pada kenyataannya selama proses uji tuntas hukum (due diligence) dan audit keuangan terhadap PT LPI, Fara Luwia tidak pernah dilibatkan dan tidak pernah diberikan informasi apapun.
Baca Juga: Marzuki Alie Cabut Gugatan Ke AHY Soal Pemecatan Sebagai Kader Demokrat
Belakangan baru diketahui bahwa utang-utang yang diciptakan tersebut bertujuan untuk mengambil alih 100% saham PT LPI dan Fara Luwia harus terdepak dari perusahaan.
“Inilah salah satu dasar dan indikasi yang jelas bahwa para tergugat tidak punya iktikad baik dalam menjalin kerja sama bisnis di PT LPI. Para tergugat jelas-jelas menikam dari belakang klien kami yang tidak lain adalah partner bisnisnya,” tegas Melky.
Menurut dia, iktikad tidak baik juga terindikasi dari nilai valuasi 100% saham PT. LPI yang tidak sesuai fakta, di mana tergugat menawarkan valuasi hanya sekitar Rp 214,61 miliar.
Angka ini jauh lebih rendah dari pada hasil valuasi yang dilakukan oleh KJPP Areyanti Junita yang menyebut nilai pasar aset PT. LPI mencapai Rp 280,21 miliar.
“Lebih aneh lagi, ketika 100% saham PT. LPI diambil alih oleh para tergugat, ternyata klien kami justru masih harus menanggung utang hingga Rp 130,99 miliar yang harus dibayarkan kepada PT SNI. Ini kan aneh,” jelasnya.
Melky menambahkan, tergugat juga mengingkari janji karena menutup opsi buyback atau pembelian kembali saham PT LPI sebesar 49% oleh Fara Luwia. Padahal opsi buyback tersebut telah disepakati bersama dalam perjanjian.
“Klien kami sudah melakukan berbagai pendekatan melalui komunikasi dalam rangka mempertanyakan kembali opsi buyback atau pembelian kembali saham PT. LPI sebesar 49%. Padahal sepengetahuan pihak Darwin Indigo maupun Fara Luwia sama-sama menyadari bahwa cikal bakal PT. Lumbung Padi Indonesia kepemilikan mayoritas sahamnya adalah milik client kami. Perlakuan-perlakuan ini merupakan bukti nyata bahwa Darwin Indigo sebagai oknum pengusaha asing bukan hanya berinvestasi dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya di Indonesia, tapi juga menjajah cita-cita seorang perempuan Indonesia yang selama ini berkecimpung cukup lama sebagai pengusaha di dalam negeri serta mengharumkan Indonesia di luar negeri,” tegasnya.
Sementara itu, di tempat yang sama, Fara Luwia mengaku telah dicurangi oleh para tergugat sehingga perusahaan pengolahan padi dan beras yang didirikannya demi memajukan dan meningkatkan kesejahteraan petani di Jawa Timur, justru diambil alih dengan cara-cara yang jauh dari prinsip good corporate governance.
“Semoga dengan beberapa rangkaian kronologis yang kami beberkan, dapat menjadi atensi berbagai pihak serta dijadikan sebagai contoh bahwa sekarang saatnya bagi pengusaha-pengusaha Indonesia untuk bangkit melawan setiap kedzoliman seperti yang dilakukan oleh Darwin Indigo terhadap client kami, Fara Luwia.” Tegasnya.