Suara.com - Sejumlah petani dari sentra produksi padi mulai merasakan harga jual gabah kering panen anjlok di tengah wacana impor beras 1,5 juta ton. Kebijakan yang digulirkan pemerintah menjelang panen raya disebut petani 'menyakitkan'.
Sementara itu, pemerintah tetap menggulirkan impor beras dengan dalih sebagai pengaman pangan di masa pandemi hingga 2021.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor menyebut kebijakan ini tak masuk akal karena sejumlah indikasi menunjukkan produksi padi tahun 2021 akan meningkat.
- 'Resesi di depan mata', petani 'paling terdampak' harus hadapi 'harga yang hancur'
- Presiden Jokowi tunjukkan pertumbuhan sektor pertanian, petani justru 'hilang harapan'
- Siasati 'lockdown', petani Indonesia dan negara-negara Asia rambah pasar digital
Deni Nurhadiansyah adalah petani di Subang, Jawa Barat. Ia bersama petani lainnya di sana pada awal April mendatang akan merayakan panen yang sekarang tampak mulai menguning dan gemuk.
Baca Juga: Gubernur Gorontalo Rusli Habibie Tolak Beras Impor
"Sekarang tanaman padi lagi bagus-bagusnya, lagi sehat-sehatnya. Rata-rata di atas 7 ton (padi per hektare). Artinya serangan hama penyakit nggak banyak," kata Deni kepada BBC News Indonesia, Selasa (09/03).
Tapi panen raya kali ini harus dilalui dengan rasa cemas, karena harga gabah kering di tingkat petani terus merosot di tengah wacana impor beras 1,5 juta ton oleh pemerintah.
"Ini sudah terbukti, di Indramayu harga gabah sekarang itu sudah Rp3.500/kilogram harga gabah. Padahal 2 minggu lalu, panen di Demak dan Kudus, Jawa Tengah itu masih Rp4.500/kilogram. Jadi ini koreksinya akan sangat banyak," kata Deni.
Menurut Deni, meskipun impor beras masih dalam tahap wacana, tapi sudah mempengaruhi harga jual gabah kering petani. Hal ini yang ia sebut akan dimanfaatkan para tengkulak untuk 'memainkan harga' sehingga merugikan petani.
"Nggak ada impor misalnya, isu impor digulingkan, impornya nggak jadi, tetap saja harga gabah pasti hancur," katanya.
Baca Juga: Petani di Solok Menjerit Kesulitan Pupuk Subsidi
Hal senada diutarakan Etik Lina Wati, petani di Kulonprogo, Yogyakarta. Padi di tempatnya tumbuh dengan baik, dan ia menganggap kebijakan impor beras itu sebagai melemahkan ketahanan pangan nasional. "Kalau kita bisa memproduksi, kenapa beli?".
Sementara dari Klaten, Wardiyono baru saja memanen 4 hektare lahan padinya. Namun, harganya kini sudah di bawah Rp4.000/kilogram. "Kondisi normal bisa Rp4.500-5.000/kilogram," katanya.
Wardiyono juga mengaku kesulitan untuk menjual padinya, karena kondisinya basah sehingga perlu dikeringkan.
"Ketika petani kesulitan menjual gabah kayak begini, pemerintah impor, itu ironis. Kita itu kesulitan menjual kok pemerintah malah membeli dari luar, itu kan menyakitkan," katanya kepada BBC News Indonesia, Selasa (09/03).
Impor sebagai langkah antisipasi krisis pangan
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud, mengatakan rencana impor beras sebagai upaya mengamankan persediaan beras dalam negeri di tengah pandemi.
"Bulog bersama kementerian perdagangan mengatur masuknya ini untuk jaga stok sampai dengan akhir tahun 2021, jaga stok 1,5 juta ton," katanya kepada BBC News Indonesia.
Musdhalifah juga menyinggung peringatan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) terkait antisipasi krisis pangan akibat situasi pandemi.
"Sehingga harus punya stok yang kita yakin cukup. Karena kan FAO sudah me-warning di masa pandemi ini bisa terjadi krisis pangan, sehingga kita harus siap mengatasi itu semua," katanya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan impor beras ini sudah disepakati antar-kementerian. Tujuannya sebagai 'iron stock' yang ia sebut sebagai cadangan di mana pemerintah melalui bulog bisa memastikan ketersediaan beras itu selalu ada.
- Petani 75 tahun divonis bersalah usai tebang pohon jati yang ditanam sendiri, mengapa konflik agraria sasar 'orang-orang kecil'?
- Memahami yang terjadi di balik wabah belalang terburuk pada 2020
- Dari 'lontang lantung', jadi preman, kondektur angkutan kota sampai menjadi petani panutan
"Jadi tidak bisa dipengaruhi oleh panen atau apa pun, karena ini dipakai untuk iron stock dan ini sudah kita sepakati, sudah kita perintahkan waktu tempat dan harga itu di tangan saya," kata Mendag Muhammad Lutfi beberapa waktu lalu.
Rencana impor beras ini pertama kali dihembuskan Menteri Koodinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat kementerian perdagangan pekan lalu. Airlangga mengatakan penyediaan ini diperlukan untuk bantuan sosial berupa beras pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), antisipasi banjir, dan pandemi.
Rencana impor beras yang ini disampaikan ini sehari sebelum Presiden Joko Widodo mengeluarkan seruan untuk mencintai produk dalam negeri.
"Saya juga selalu menyampaikan kepada kementerian/lembaga dan semua BUMN untuk memperbesar tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Ini harus terus, jangan sampai proyek-proyek-proyek pemerintah, proyeknya BUMN, masih memakai barang-barang impor. Kalau itu bisa dikunci, itu akan menaikkan sebuah permintaan produk dalam negeri yang tidak kecil," kata Persiden Jokowi seperti dikutip dari situs sekretariat negara, Jumat (05/03).
Keputusan tak masuk akal
Di sisi lain, Ketua Umum Gerakan Petani Nusantara (GPN), Suryo Wioyono, melaporkan tak ada panen padi bermasalah di Jawa, Sumatera hingga Merauke sehingga kebijakan impor tidak diperlukan.
"Impor kalau ada sesuatu, bencana alam, hama, penyakit berskala besar, sehingga terjadi gangguan produksi yang besar sehingga khawatir. Misalnya serangan wereng yang besar pada 2017, 2018 impor, itu masuk akal. Tapi ini kan nggak ada sesuatu yang besar terjadi," kata Suryo kepada BBC News Indonesia, Selasa (09/03).
Ia melanjutkan, di tengah panen raya petani semestinya pemerintah membantu petani untuk memperluas kapasitas penyerapan padi.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Profesor Dwi Andreas Santosa, mengatakan keputusan impor beras sebagai kebijakan 'tak masuk akal'. Menurutnya, stok beras saat ini masih melimpah terlihat dari harga kering panen yang justru menurun di akhir tahun 2020.
Padahal, kata Prof Dwi Andreas, semestinya harga gabah kering panen naik di akhir tahun karena masuk masa paceklik. Saat itu petani dalam tahap mulai merawat tanaman, sehingga gabah yang diperdagangkan jumlahnya kecil
"Menurun di akhir tahun itu justru anomali. Karena gabah kering panen hampir selalu naik, sampai puncaknya di bulan Januari dan Februari, baru Maret turun," kata Ketua Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini.
AB2TI juga melakukan survei melalui jaringan petani di sentra-sentra produksi padi yang tersebar di 89 kabupaten di 18 provinsi.
Pada September tahun lalu, AB2TI mencatat harga GPK Rp.4.800/kilogram, lalu turun pada Oktober menjadi Rp4.564/kilogram. GPK kemudian merosot lagi pada November dan Desember masing-masing Rp4.483/kilogram dan Rp4.263/kilogram.
Namun, pada Januari sempat naik menjadi Rp4.600/kilogram, akan tetapi memasuki Februari kembali anjlok Rp3.995/kilogram.
"Saat ini, minggu terakhir sebagian wilayah itu sudah di bawah Rp3800/kilogram. Ketika hal seperti itu terjadi menimpa sedulur petani kita, tiba-tiba ada keputusan impor yang timingnya sama sekali tidak tepat," kata Prof Dwi Andreas.
Badan Pusat Statistik mencatat terjadi peningkatan produksi padi dari 2019 ke 2020 hingga mencapai 45 ribu ton. Pada 2019 produksi padi mencapai 54.604.033,34 ton lalu meningkat menjadi 54.649.202,24 ton. Pada kuartal I tahun ini, BPS juga memperkirakan produksi beras akan meningkat 26%.
"Dan itu persis, 2021 produksi lebih tinggi," tambah Prof Dwi Andreas.
Oleh karena itu, Prof Dwi Andreas meminta pemerintah membatalkan impor beras ini. Kalau pun perlu kajian, maka perlu menunggu hingga Juli-Agustus di mana luas tanam sudah terlihat, sehingga bisa diperkirakan kebutuhan pencadangan beras diperlukan atau tidak.
"Kalau produksinya tidak mencukupi untuk konsumsi silakan saja (impor). Kalau produksi melebihi konsumsi, ya sudah, nggak ada keputusan impor sama sekali. Jadi batalkan dulu," katanya.