Lokataru Minta Penyelesaian Kasus Mafia Tanah Harus Jadi Prioritas

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 04 Maret 2021 | 09:58 WIB
Lokataru Minta Penyelesaian Kasus Mafia Tanah Harus Jadi Prioritas
Direktur Lokataru Haris Azhar saat berkunjung ke Suara.com, Jakarta, Kamis (17/1). [Suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Presiden Jokowi, Menteri Agraria ATR/BPN-RI, Kapolri telah mengeluarkan statemen untuk menggulung mafia tanah. Memang, telah lama Mafia Tanah menjadi aktor utama dari masalah-masalah agraria di Indonesia.

Sehingga persoalan seperti konflik, sengketa dan perkara agraria dan pertanahan selalu mencuat setiap tahun seolah tidak dapat terselesaikan.

Bagaimana Mafia Tanah dapat tumbuh subur, siapa sesungguhnya Mafia Tanah yang harus segera diberantas. Kasus-kasus semacam apa yang seharusnya menjadi prioritas?

"Hemat kami, di manapun terjadinya praktik persekutuan mafia tumbuh karena ketertutupan, rendahnya pengawasan publik dan minimnya penegakan hukum. Persekutuan tersebut melibatkan berbagai macam aktor, di dalam dan di luar pemerintah dan tidak segan menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh organisasi preman. Dalam persoalan semacam ini, ironisnya aparat kepolisian seolah tidak berkutik," kata Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar ditulis Kamis (4/3/2021).

Baca Juga: Korban Rugi Rp 180 M, Polisi Bidik Tersangka Mafia Tanah di Kebon Sirih

Haris menuturkan, sebagai mana praktik mafia tanah yang lazim, organisasi preman adalah kepanjangan tangan dari pemodal besar yang seungguhnya ingin menguasai tanah-tanah di sebuah lokasi.

"Menebar terror kepada pemilik sah dan kemudian hari menyulap wilayah tersebut untuk menjadi kawasan industry, pergudangan dan pemukiman dan kawasan bisnis lainnya," ucapnya.

Karena itu menurutnya, operasi mafia tanah di lapangan sesungguhnya selalu berkesinambungan dengan jenis Mafia Tanah lanjutan, yakni kelompok besar yang mampu melakukan perubahan tata ruang.

Persekongkolan semacam ini dapat menghasilkan perubahan kawasan hijau dan konservasi menjadi kawasan perumahan dan bisnis, pemutihan terhadap pelanggaran tata ruang, hingga perubahan arah proyek infrastruktur yang ironisnya semakin memudahkan komersialisasi atas perubahan ruang yang terjadi.

Kasus Prioritas

Baca Juga: MAKI Ikut Awasi Sidang Kasus Mafia Tanah di Cakung, Ada Apa?

Menurut Lokataru, ada beberapa kasus Mafia Tanah yang wajib menjadi perhatian dan penangangan segera. Sebab, melibatkan persektuan pemodal besar, organisasi preman, dan hukum seolah tumpul terhadap mereka. Beberapa diantaranya adalah:

Sebagai contoh, puluhan warga pemilik tanah di Desa Babakan Asem, Kabupaten Tangerang diduga kuat menjadi korban penyerobotan lahan oleh beberapa pihak dengan terbitnya Nomor Induk Bidang (“NIB”) dan Sertifikat Hak Milik (“SHM”) atas nama orang lain.

Hal tersebut mencuat setelah Heri Hermawan, salah satu warga Desa Babakan Asem, Kab. Tangerang, kepada BPN Tangerang pada Agustus 2020 lalu hendak mendaftarkan tanah.

BPN Tangerang menyampaikan melalui surat di atas tanahnya telah terbit sejumlah NIB atas nama Vreddy sehingga proses pendaftaran tanah tidak dapat dilanjutkan.

BPN Kabupaten Tangerang bahkan secara spesifik menyebutkan bahwa penerbitan NIB atas nama Vreddy yang terbit di atas tanah Heri Hermawan, berdasarkan dokumen perolehan tanah yang dibuktikan dengan Akta Jual beli (AJB) antara Micang (sebagai penjual) dengan Vreddy (sebagai pembeli) pada tahun 2013 yang dicatatkan pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Indrarini Sawitri (Nomor SK PPAT: 2017-XVII-2006) yang beralamat di Binong Permai Blok A1 Nomor 6 Kabupaten Tangerang.

Ketika warga melakukan pengecekan mandiri terkait status bidang-bidang tanah miliknya melalui website resmi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, https://www.bhumi.atr.bpn.go.id/, dan menemukan ada beberapa nama diantaranya Vreddy, Hendry, dan Ahmad Ghozali, sebagai pemegang NIB serta SHM di atas tanah warga di 27 desa, dan 4 Kecamatan di Kabupaten Tangerang dengan luas total 900 Ha atau sekitar 9 juta M2.

Selain itu, keanehan juga terjadi, sebab NIB dan/atau SHM atas nama Vreddy dan Hendry, diterbitkan dengan total luasan bidang tanah masing-masing sebesar ± 5.000.000 M2 (500 Hektar) dan ± 2.000.000 M2 (200 Hektar).

Padahal, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, telah membatasi luasan kepemilikan tanah pertanian hanya sebesar 20 Hektar. Lagi-lagi ketika masyarakat mempertanyakan persoalan ini, sejumlah preman memberikan intimidasi kepada masyarakat langsung di Lapangan.

Selain kasus di atas, perampasan tanah milik yang telah bersertifikat juga dilakukan oleh perusahaan pengembang yang terindikasi bekerjasama dengan organisasi preman.

Kasus tersebut diantaranya adalah:

Kasus yang dialami oleh Tonny Permana pemegang dan pemilik tanah dengan Sertifikat Hak Milik [SHM] di Desa Salembaran Jaya, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

Kepemilikan tersebut digugat di Pengadilan oleh seseorang dengan hanya menggunakan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah. Dalam proses ini, propertinya dihancurkan oleh sekelompok preman.

Kasus serupa juga dialami oleh Djoko Sukamtono di Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten. SHM miliknya dikuasai oleh pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK) dengan cara melakukan laporan yang mengindikasikan kriminalisasi kepada pemilik sertifikat.

Saat ini SHM miliknya dan tidak dapat akses untuk masuk, penghilangan tanda batas-batas dengan cara sebelumnya dilaporkan sebagai pihak yang memalsukan girik tanah yang sesungguhnya telah terbit SHM.

Mafia Tanah juga membawa korban kepada kepastian hukum dan usaha yang telah dijalankan oleh perusahan-perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi karena kolaborasi antara BPN dan para pelaku Mafia Tanah seperti dapat dilihat dalam kasus di bawah ini:

PT Salve Veritate merupakan pemilik dan pemegang atas 38 (tiga puluh delapan) Sertifikat Hak Guna Bangunan dengan total luas 77.852 m2 (tujuh puluh tujuh ribu delapan ratus lima puluh dua meter persegi) yang terletak di Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dimana 38 Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut berasal dari beberapa Sertifikat Hak Milik atas nama Benny Simon Tabalujan yang telah diperoleh dan menjadi SHM sejak tahun 1975.

Sertifikat tersebut kemudian digugat oleh Abdul Halim dan melaporkan Benny Simon Tabalujan ke Kepolisian Metro Jaya atas dasar penggunaan keterangan dan dokumen palsu dalam menguasai tanah yang berlokasi di Cakung, Kota Jakarta Timur tersebut. Kini Benny Simon Tabalujan ditetapkan sebagai tersangka tanpa pernah diperiksa.

Sementara itu, sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Abdul Halim melalui Kepala Kantor Wilayah BPN Prov. DKI Jakarta tetap mengeluarkan Keputusan tertanggal 30 September 2019 tentang pembatalan 20 SHM atas nama Benny Simon Tabalujan beserta turunannya yakni 38 SHGB.

Ketika Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN Prov DKI Jakarta tersebut di terbitkan yakni 30 September 2019, proses pemeriksaan di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung masih berlangsung atau dengan kata lain belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan pemeriksaan Kasasi di Mahkamah Agung baru di putus pada tanggal 27 Februari 2020.

"Mafia Tanah juga kami tengarai telah membuat sejumlah proses akrobat hukum sehingga barang rampasan negara berupa tanah dapat dikuasai oleh perusahaan pengembang," ucapnya.

Seperti kasus Lee Darmawan Kartarahardja Harianto, Terpidana dijatuhi vonis pidana penjara serta pidana tambahan berupa perampasan aset miliknya kepada Bank Indonesia.

Dari total keseluruhan barang atau aset berupa bidang tanah 10.013.837 M2 atau sekitar 83% (delapan puluh tiga persen) dan menyisakan tanah dan bangunan seluas 1.918.752 (satu juta sembilan ratus delapan belas ribu tujuh ratus lima puluh dua meter persegi) atau sekitar 17% (tujuh belas persen) yang belum dirampas dan diserahkan kepada negara c.q. Bank Indonesia.

Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI telah melakukan penelusuran guna mencari sisa tanah yang belum dirampas dan dikembalikan kepada negara. Pada tahun 2017 berlokasi di Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang PPA Kejaksaan Agung RI menemukan dan melakukan pemasangan plang yang menandakan bahwa tanah tersebut milik negara.

Plang atau penanda dari PPA Kejaksaan Agung RI tersebut dipasang dibeberapa lokasi yang tersebar di Desa Dadap tersebut.

Kini plang atau penanda yang dipasang tersebut telah dilepas dan tidak lagi berada dilokasi yang dipasang oleh PPA Kejaksaan Agung RI. Lokasi tanah tersebut kini telah diurug dan dikuasai oleh sekelompok orang untuk digunakan area pengembangan developer.

Lokataru pada 23 Juni 2020 telah bersurat kepada Kepala Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI dengan tujuan menanyakan perkembangan penanganan pemulihan aset atas nama terpidana Lee Darmawan. Akan tetapi berdasarkan balasan yang diterima melalui surat tertanggal 07 Agustus 2020, PPA Kejaksaan Agung RI menyatakan bahwa pemulihan aset milik Lee Darmawan Kartahardja Harianto dilakukan secara tertutup.

Penutup

Dari kasus-kasus tersebut, ada beberapa praktik lazim yang kerap digunakan oleh Mafia Tanah yaitu:

  1. Pemalsuan girik, akta jual beli, dan pengambil alihan dokumen pajak dengan cara bekerjasama dengan oknum di pemerintahan dan pejabat pembuat akta tanah.
  2. Mengganggu Pemilik tanah yang sah dengan cara dibuat menjadi tidak nyaman dengan cara seperti: Penutupan jalan, membangun bangunan fisik seperti pagar dan seng disekitar wilayah tanah. Digunakannya oknum-oknum preman untuk menekan para pemilik tanah supaya menjual tanah miliknya dengan harga yang murah. Penguasaan fisik dengan cara memasang plang dan tenda diatas tanah tersebut yang mengatas namakan oknum preman. Pengerusakan batas atau patok pemilik tanah oleh oknum preman.
  3. Pelaporan dugaan tindak pidana kepada pemilik tanah yang sah di Kepolisian; bahkan hingga gugatan pembatalan sertifikat melalui PTUN
  4. Pada saat pengadilan telah memberikan kekuatan hukum pada pemilik sah, kondisi lapangan telah dikuasai oleh organisasi preman sehingga putusan tidak dapat dijalankan.
  5. Penggunaan aparat dan preman untuk menakut-nakuti warga yang masih ingin mempertahankan tanahnya.

"Dari keseluruhan kasus-kasus tersebut, apakah korbannya individu, masyarakat luas, perusahaan, bahkan negara memperlihatkan bahwa tujuan utama Mafia Tanah adalah menjadikan asset tanah sebagai sarana pengembangan tujuan bisnis yang lebih besar dengan cara-cara melawan hukum. Karena itu, Lokataru berpendapat bahwa kasus-kasus semacam ini haruslah menjadi prioritas," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI