Suara.com - Meski udara masih terasa dingin menjelang siang hari pukul 10.00 WIB, namun warga dengan bekal parang dan cangkul tetap semangat mendatangi kebun-kebun kopi milik mereka di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.
Para pria dan wanita paruh baya tampak bergegas menuju kebun-kebun kopi yang telah menjadi rutinitas sehari-hari mereka. Mulai dari membersihkan kebun dan juga memanen kopi.
Jalan yang ditempuh cukup jauh dan berkelok-kelok. Namun, hijaunya hamparan kebun kopi sejak awal memasuki Kampung Cam, Pondok Baru hingga ke Redelong itu mengobati kelelahan perjalanan panjang dari Gunung Salak, Kabupaten Aceh Utara ke Bener Meriah.
Di hamparan sejauh mata memandang itulah tumbuh pohon kopi yang didominasi jenis kopi arabika Gayo. Siapa yang tidak kenal kopi Gayo, yang tersohor dan bahkan mampu masuk dalam jajaran kopi ternikmat dunia.
Baca Juga: Aceh Provinsi Termiskin di Sumatera, Denny Siregar: Alhamdulillah...
Di sepanjang ruas jalan yang menurun itu menuju Redelong, ibu kota Kabupaten Bener Meriah, sebagian petani mulai membentangkan tikar untuk menjemur biji kopi setelah di panen.
Dalam suasana hening, para petani dengan tekun menjemur biji kopi hasil kebunnya. Hening, bisa jadi karena memikirkan nasib harga kopi yang belakangan ini terus merosot karena pandemi Covid-19.
"Kalau harganya memang turun drastis selama pandemi ini. Tapi, kami tetap bersemangat mengurus tanaman kopi karena memang pendapatan sebagian besar warga di sini bercocok tanam kopi," kata Rizal, warga Bener Meriah dilansir dari Antara, Rabu (24/2/2021).
Namun, para petani kopi Arabika Gayo tampaknya optimistis harga komoditas ekspor itu akan kembali mengembirakan seiring membaiknya perekenomian dunia dimasa mendatang, atau setelah pandemi berakhir.
Beberapa bulan ini memang harganya jatuh seiring lesunya permintaan pasar. Para petani sepertinya berharap harga yang rendah itu tidak bertahan lama atau akan kembali membaik.
Baca Juga: Bejat! Tiga Pemuda Bermobil Perkosa Gadis 14 Tahun
"Harus yakin harga akan kembali bagus, karena kopi arabika Gayo menjadi salah satu varietas terbaik dunia dengan citra rasa yang khas," ujarnya.
Memang, suasana alami di Dataran Tinggi Tanah Gayo yang merupakan lumbung kopi arabika di provinsi berpenduduk sekitar 5,2 juta jiwa itu, tetap berlangsung seperti biasa. Seakan semua berpikiran bahwa pandemi sudah berakhir.
"Kami warga kampung sudah terbiasa seperti. Setiap pagi, yang ada dipikiran adalah pergi ke kebun. Kebun kopi adalah 'rumah kami' di siang hari, setelah urusan anak-anak berangkat ke sekolah selesai," kata Kurnia.
Di tengah pandemi, masyarakat Dataran Tanah Gayo baik di Aceh Tengah maupun Bener Meriah tetap merawat kebun-kebun kopinya dengan teliti. Mayoritas masyarakat di sini atau 85 persennya memang merupakan petani kopi.
Walau pandemi telah berdampak pada penurunan harga kopi secara signifikan, masyarakat Gayo tetap tak meninggalkan kebun-kebun kopi mereka.
Harus diakui, bahwa saat ini kondisinya memang memprihatinkan, harga kopi gelondongan cuma Rp6 ribu per bambu. "Biasanya Rp10 ribu sampai Rp12 ribu per bambu (setara 1,3 kg)," ucap Iwan (40), petani kopi di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Dengan harga Rp6 ribu itu cuma cukup menutupi untuk membayar ongkos panen atau pemetik kopi. Tapi kalau untuk menutupi biaya perawatan kebun tidak cukup, belum lagi untuk kebutuhan ekonomi keluarga.
Kendati demikian, warga mengaku tak pernah meninggalkan kebun kopinya, meski harapannya pandemi segera berakhir dan harga kopi dapat kembali normal seperti sedia kala.
Tetap optimis
Penyair nasional asal Dataran Tinggi Tanah Gayo, Fikar W Eda mengatakan bagi masyarakat Gayo kopi bukan hanya sekedar komoditas tapi juga memiliki nilai-nilai tradisi yang tak dapat dipisahkan dari sendi kehidupan di tengah masyarakatnya.
Masyarakat Gayo tempo dulu mengenal kopi dengan sebutan Kewe atau Kahwa. Kopi ditanam berbanjar-banjar, dirawat dengan teliti dan penuh kepedulian, dan menjadikannya sebagai sumber penghidupan.
Petani lainnya, Aman Fitrah (39) juga menyatakan tidak akan meninggalkan kebun kopinya meski hasil panen terjual murah sebagai dampak pandemi.
Tapi menurutnya petani memang harus berjuang melawan keadaan ekonomi sulit di tengah pandemi, dan salah satu caranya dengan memanfaatkan lahan kebun sebagian untuk tanaman sampingan seperti menanam sayur-sayuran.
"Selingannya tanam cabai, enggak banyak, untuk bisa nambah-nambah penghasilan saja selain kopi," kata Aman Fitrah.
"Mamak saya walaupun sudah tua enggak bisa dilarang ke kebun, malah sakit badannya kalau enggak ke kebun," tambahnya.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, kopi Gayo sebagai komoditasi ekspor memang merasakan langsung dampaknya. Banyak pembeli luar negeri menyetop pembeliannya atau membeli lebih sedikit dari biasanya.
Kopi arabica Gayo sejak dulu tumbuh baik di kawasan pegunungan Dataran Tinggi Gayo khususnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah yang berada dalam wilayah tengah Provinsi Aceh.
Luas lahan kopi di kedua daerah ini mencapai lebih dari 90.000 hektare dengan perincian seluas 49.835 hektare di Aceh Tengah dan seluas 46.273 hektare di Bener Meriah, sehingga menjadikannya sebagai sentra penghasil kopi arabica terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Perkebunan kopi di Dataran Tinggi Tanah Gayo itu mayoritas milik rakyat dengan produksinya rata-rata setiap tahun 700-800 kilogram per hektare.
Kopi arabica Gayo juga dikenal sebagai kopi kualitas terbaik dunia yang tumbuh pada ketinggian rata-rata antara 1.200-1.800 meter di atas permukaan laut.
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah menyebut setiap tahunnya kopi Gayo diekspor ke lebih dari 16 negara dengan nilai pasok rata-rata mencapai 7.000 ton per tahun.
Ekspor
Kopi Arabica Gayo sangat digemari oleh konsumen di Amerika, Eropa, dan Jepang. Mereka menyebut kopi gayo sangat istimewa dan dikatagorikan sebagai kopi spesialty karena memiliki aroma khas dengan perisa/flavor kompleks, dan kekentalan/body yang kuat.
Berdasarkan hasil uji cita rasa kopi yang diterapkan oleh asosiasi kopi di Amerika yakni Specialty Coffee Asotiation of Amerika atau SCAA, kopi Gayo disebut sebagai kopi dengan skor nilai sempurna.
Bagi SCAA kopi dengan skor poin di atas angka 80 berdasarkan hasil uji citarasa/Cupping test sudah dianggap sebagai kopi spesialty.
Sedangkan kopi Gayo selalu mendapatkan nilai tertinggi di angka 86-90 poin. Nilai itu cukup untuk menobatkan kopi Gayo sebagai kopi terbaik nomor satu di dunia. Tidak heran, di manca negara di hotel dan tempat-tempat favorit yang berkelas, kopi Gayo menjadi pilihan utama bagi penyeruput kopi dunia.
Ketua Asosiasi Produser Fairtrade Indonesia/APFI, Armiadi di Takengon mengatakan permintaan ekspor kopi Gayo selama pandemi sangat minim.
Kondisi tersebut membuat kopi Gayo lebih banyak menumpuk di gudang. Para eksportir lokal kewalahan mendapatkan kontrak pembelian seperti biasanya dari para pembeli luar negeri.
"Kopi banyak tertumpuk di gudang dan tidak terjual karena tidak ada pembeli. Itu kondisi saat ini," kata Armiadi.
Jika pun ada transaksi pembelian atau ekspor kopi Gayo di masa pandemi saat ini maka diprediksi tak lebih dari kisaran 10 sampai 20 persen saja.
Sedangkan sisanya, kopi menumpuk di gudang tanpa ada permintaan beli dari para buyer luar negeri.
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia/AEKI Aceh Armia menjelaskan bahwa pandemi saat ini memang sangat berdampak pada perdagangan kopi dunia, termasuk menyebabkan anjloknya harga jual kopi Gayo.
Tidak ada solusi yang tepat untuk saat ini selain berharap pandemi segera berakhir. "Jika mau cepat ayo sama-sama kita akhiri Covid-19 dengan mematuhi protokol kesehatan," ujarnya.
"Gayo, kopi, dan budaya, adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah, kita memang hidup dengan itu. Gayo hidup dengan kopi, Gayo hidup dengan budaya. Itu yang kemudian menjadi satu kesatuan ruh spiritnya orang Gayo. Ini yang harus dirawat dan dijaga dengan baik," kata Bupati Bener Meriah Sarkawi.
Bagi masyarakat Gayo kopi bukan hanya tentang minuman hangat di pagi hari atau menjadi tradisi menu hidangan dalam setiap kebersamaan, tapi lebih dari itu juga diresapi sebagai bagian dari nilai-nilai kearifan dan keelokan berbudaya.
Kebun-kebun kopi itu bukan hanya sekedar ladang sumber ekonomi bagi masyarakat Gayo, tapi juga ibarat "rumah" yang mampu memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi setiap pemiliknya.