Suara.com - Bursa Efek Indonesia kedatangan gelombang besar investor ritel, hal ini terlihat dari nilai transaksi harian bursa yang melonjak signifikan di awal tahun 2021.
Sepanjang Januari ini, rata-rata transaksi harian saham di bursa saham tercatat sebesar Rp 20,5 triliun/hari meningkat signifkan jika dibandingkan rata-rata transaksi harian di tahun 2020 dan 2019 yang masing-masing hanya sebesar Rp9,2 triliun dan Rp9,1 triliun/hari.
Kenaikan nilai transaksi dari gelombang masuknya investor ritel tersebut sudah terlihat sejak Kuartal IV tahun lalu. Dimana porsi kepemilikan investor ritel Domestik mengalami kenaikan yang signifikan, dan masuknya investor ritel ini menjadi tenaga baru bagi IHSG.
Pada pekan 1 dan ke-2 , bursa diramaikan dengan rally kenaikan harga saham emiten yang banyak menyentuh batas maksimal kenaikan yang dipersyaratkan atau dikenal dengan istilah Auto Rejection Atas (ARA).
Baca Juga: 25 Saham Keluar dari Efek Marjin, Ini Daftarnya
Tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pihak regulator bursa saham melakukan suspensi (penghentian) terhadap perdagangan sejumlah saham sebanyak 19 kali di bulan Januari 2021 dengan dasar terjadinya kenaikan yang signifikan terhadap harga sahamnya, bahkan terdapat beberapa emiten yang mendapatkan dua kali suspensi di bulan Januari karena kenaikan harga yang signifikan.
Memasuki pekan ke-3 IHSG berbalik turun, bahkan tercatat IHSG mengalami koreksi dalam 7 hari berturut-turut sejak 21 Januari sampai akhir perdagangan di bulan Januari (29 Januari). IHSG yang tadinya sempat menguat 7,7% sampai di pekan ke-3 Januari , harus ditutup terkoreksi -2,88% dibandingkan posisi akhir 2020.
Rally koreksi bursa yang terjadi 7 hari berturut-turut tersebut menjadi hal yang bersejarah terkhusus bagi investor ritel. Bisa dikatakan selama koreksi IHSG 7 hari bertutut-turut tersebut menjadi musim terbanyak saham-saham mengalami Auto Rejection Bawah/ARB (kebalikan dari ARA) bahkan dalam beberapa hari berturut-turut. Kondisi ini tidak lepas dari belum dicabutnya batas Auto Rejection Asimetris yang diterapkan oleh BEI.
Dalam ketentuan Auto Rejection Asimetria, batas maksimal penurunan dan kenaikan harga saham dibuat dengan besaran yang tidak sama. Dimana untuk harga saham dibawah Rp200, batas penurunan harga dalam satu hari ditetapkan maksimal sebesar 7% sementara batas kenaikan harganya maksimal 35%.
Begitu juga untuk harga saham direntang 200 – 5.000 dan diatas Rp5.000 dikenakan batas penurunan harga maksimal 7% dan batas atas kenaikan harga saham masing-masing maksimal 25% dan 20%. Aturan batasan Auto Rejection asimetris tersebut diberlakukan oleh BEI pada maret 2020 untuk mengurangi tekanan dari dampak pandemic Covid terhadap pasar saham.
Baca Juga: Pekan Terakhir Januari 2021, IHSG Ditutup Anjlok 117 Poin
Dengan batasan koreksi Asimetris tersebut (Batas penurunan lebih kecil dibandingkan kenaikan) membuat saham-saham yang naik signifkan, ketika mengalami koreksi harus mengalami ARB berhari-hari atau yang lebih panjang. Misalkan, saham A dengan harga Rp50 ketika mengalami kenaikan maksimal (ARA;35%) dalam 2 hari berturut-turut harga menjadi Rp90, ketika saham tersebut koreksi kembali ke harga Rp50 lagi, dibutuhkan waktu 9 hari.
Jadi meskipun investor mau melakukan penjualan di harga Rp50 dia harus menunggu di hari ke-9 untuk merealisasikan penjualannya karena adanya batasan penurunan maksimal 7%/hari.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan kondisi ARB yang lebih panjang memberikan dampak psikologis yang lebih besar, karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melikuidasi sahamnya menjadi Cash.
Apalagi jika penggunaan dana pembelian saham bukan menggunakan idle money tapi menggunakan hutang seperti pinjaman online ataupun penggunaan fasilitas margin yang disediakan oleh masing-masing broker.
“Di saat jatuh tempo harus membayar, investor tidak dapat merealisasikan karena kesulitan menjual sahamnya karena mengalami ARB dan semakin bertambah hari, beban bungapun semakin bertambah. Hal inilah yang banyak tidak diantisipasi oleh investor ritel dan sudah pasti hal tersebut karena kurang pemahaman atau edukasi bagi investor ritel terhadap mekanisme pasar, dan ini PR besar pemerintah dan regulator dalam mengedukasi investor sabagai bagian perlindungan investor,” ujarnya, Minggu (31/1/2021).
Investor ritel yang memiliki pemahaman yang minim, semakin mempertanyakan mekanisme bursa, ketika menyaksikan saat terjadi kenaikan harga saham yang signifikan, regulator begitu aktif melalukan suspensi. Sementara saat terjadi akumulasi penurunan yang signifikan regulator terkesan absen atau menutup mata terhadap kondisi tersebut.
Investor melihat, saat banyaknya emiten-emiten yang mengalami ARB secara beberapa hari berturut-turut, tidak ada satupun emiten yang dikenakan suspensi oleh Regulator karena penurunan harga tersebut. Terlepas dari argumen bahwa regulator memiliki mekanisme tersendiri secara sistem dalam penentuan suspensi karena kenaikan atau penurunan kumulatif harga saham, tetap saja ketidakpuasan atau protes investor menunjukan absennya transparansi mekanisme kebijakan yang dilakukan regulator bursa.
Tasril Jamal Investor Ritel berharap BEI bisa lebih tanggap dalam melihat kondisi saat ini, terkhusus yang menyangkut perlindungan bagi investor ritel. Ramainya influencer saham yang tidak mengerti investasi, termasuk hal yang harus disikapi oleh BEI, karena memberikan kerugian bagi investor pemula yang terpengaruh oleh hasutan (pompom) dari para influencer.
“BEI harusnya cepat tanggap, bukan hanya diam saja atau malah menyalahkan investor baru, BEI tugasnya bukan cari profit tapi bagaimana mengedukasi dan membuat aturan-aturan termasuk tanggap terhadap kejadian dimarket,” ujarnya.
Terkait dengan penggunaan margin dalam pembelian saham oleh investor ritel, Tasril melihat broker harus memiliki sense jangan hanya fokus mengejar nasabah untuk menggunalan margin, tapi juga memastikan bahwa nasabah tersebut paham akan resiko penggunaan margin saat kondisi market koreksi.
“Otoritas yangg harus berinisiatif melakukan edukasi dan aturan lain seperti broker harus hati- memberikan margin trading kepada investor pemula, karena investor pemula kan nggak tahu detail resikonya,” ungkap Tasril.
Gelombang Investor ritel saham yang didominasi oleh milenial merupakan hadiah bagi perkembangan pasar modal Indonesia. Dengan masuknya investor ritel, likuiditas pasar saham kita naik signfikan mencatatkan sejarah baru, yang membuat likuiditas pasar saham kita semakin baik di mata investor global.
Jangan sampai masuknya investor ritel yang didominasi milenial ini berakhir dengan sad ending. Karena ketidakmasimalan peran regulator dalam memainkan perannya. Jangan sampai mereka lebih memilih menjadi investor asing bagi bursa saham luar, ketimbang menjadi investor domestik di bursa sendiri karena pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan. Perlu tindakan cepat dari pemerintah, jangan sampai kehilangan momentum.