Suara.com - Potensi terjadinya kelangkaan pupuk pada tahun 2021 masih cukup besar. Hal ini terjadi karena perbedaan yang signifikan antara kebutuhan dengan alokasi yang diberikan Pemerintah.
Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin.
Berdasarkan usulan sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) dari seluruh daerah, kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2021 mencapai 23,4 juta ton, jauh lebih besar dari anggaran APBN 2021 yang hanya mampu memenuhi subsidi sekitar 9 juta ton ditambah 1,5 juta liter pupuk organik cair.
"Kelangkaan pupuk masih akan terjadi pada 2021 ini, karena perbedaan kebutuhan dengan kemampuan keuangan Negara," kata Bustanul ditulis Rabu (27/1/2021).
Baca Juga: Satreskrim Karanganyar Bekuk 2 Pemasok Ratusan Kilogram Pupuk Tak Berizin
Pemerintah bersama produsen pupuk dalam hal ini telah melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalisasi dan efisiensi anggaran subsidi pupuk.
Upaya pertama yakni dengan menurunkan HPP produksi salah satunya melalui melalui insentif harga gas bagi industri pupuk. Langkah ini berhasil menciptakan efisiensi sebesar Rp 2,4 triliun berkat penurunan HPP mencapai 5 persen.
Kemudian, Pemerintah juga melakukan perubahan formula NPK 15:15:15 menjadi NPK 15:10:12 sehingga menghasilkan efisiensi sebesar Rp 2,2 triliun.
Selanjutnya, Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap HET pupuk bersubsidi sebesar Rp 300-450 per kg, dan menghasilkan efisiensi Rp 2,5 triliun.
Sederet upaya tersebut menghasilkan total efisiensi sekitar Rp 7,3 triliun yang dapat menutupi kekurangan APBN untuk subsidi pupuk 2021.
Baca Juga: Pupuk Kaltim Beli 10 Unit GeNose C19 Senilai Rp 620 Juta
Bustanul menilai dengan kenaikan HET pupuk subsidi dan dengan simulasi harga gas yang turun, maka volume pupuk bersubsidi bisa bertambah sampai 13 juta ton, dengan anggaran yang sama, yakni Rp 25,3 triliun.
"Analisis skenario itu menghasilkan volume pupuk bersubsidi naik menjadi 13,6 juta ton jika harga gas turun mengikuti harga gas tingkat internasional," kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila tersebut.
Selain alokasi pupuk subsidi, Kementerian Pertanian dan Pupuk Indonesia selaku produsen juga perlu mewaspadai database petani dalam kelompok tani yang harus mengunggah e-RDKK ke sistem pupuk bersubsidi di Kementan.
Sekitar 42 persen petani Indonesia tidak menjadi anggota kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Gapoktan) sehingga cukup menyulitkan verifikasi kebutuhan dan alokasi subsidi pupuk.
Di samping itu, sampai Desember 2020 implementasi Kartu Tani baru mencapai 1,65 juta orang atau 11,87 persen dari 13,9 juta petani yang tercatat dalam e-RDKK 2020, berdasarkan data Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan.
"Isu akurasi e-RDKK dan cakupan atau akses Kartu Tani merupakan PR yang harus diselesaikan dalam implementasi subsidi pupuk pada 2021," kata Bustanul. (Antara)