Suara.com - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan sebuah peribahasa untuk menunjukan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Dia bilang saat ini ekonomi Indonesia 'kakinya' sedang terkilir atau cedera.
Hal tersebut dikatakan Mendag Lutfi dalam acara MGN SUMMIT 2021 ECONOMIC RECOVERY, secara virtual, Rabu (27/1/2021).
"Ekonomi kita ini kalau lagi lari marathon sedang terkilir kakinya," kata Lutfi.
Lutfi mengaku tak asal dalam mengungkapkan kalimat tersebut, menurut dia terkilirnya kaki ekonomi terlihat dari kinerja ekspor dan impor pada tahun 2020 lalu yang menunjukan tren pelemahan akibat pandemi Covid-19.
Baca Juga: Mendag Lutfi Kesal dengan Aturan Filipina soal Industri Otomotif
Walaupun neraca dagang mencatatkan surplus sebesar 21,74 miliar dolar AS tapi surplusnya terjadi ketika kegiatan impor anjlok lebih dari 17 persen.
"Karena surplus kita kali ini bukan surplus yang enak, bukan surplus yang seperti tahun 2012," katanya.
Pada tahun 2012 kata dia, surplus terjadi karena harga sejumlah komoditas ekspor andalan Indonesia sedang tinggi-tingginya, seperti harga minyak dunia yang menyentuh 100 dolar AS per barel, batubara 100 dolar AS, sehingga kala itu pemerintah memiliki keleluasaan yang luar biasa.
Dirinya pun lantas menyoroti, surplus neraca perdagangan 2020 sebesar 21,7 miliar dolar AS yang dinilainya tidak mengenakan.
Menurut dia, banyak sisi minus dalam perhitungan tersebut yang justru menandakan perekonomian Indonesia pada tahun lalu dalam kondisi lemah.
Baca Juga: Neraca Dagang RI Surplus, Mendag : Surplusnya Tidak Sehat
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang Indonesia mengalami surplus sebesar 21,74 miliar dolar AS sepanjangan tahun 2020.
Surplus terjadi karena nilai ekspor mencapai 163,31 miliar dolar AS atau turun 2,61 persen dari 67,68 miliar dolar AS pada 2019. Sementara impor mencapai 141,57 miliar dolar AS atau turun 17,34 persen dari 171,28 miliar dolar AS pada periode yang sama.
Terlihat bahwa ekspor secara tahunan untuk migas turun 29,52 persen, pertanian naik 13,98 persen, industri pengolahan naik 2,95 persen, dan pertambangan turun 20,7 persen.
Sedangkan impor tahunan berasal dari barang konsumsi yang turun 10,93 persen, bahan baku penolong minus 18,32 persen, dan barang modal melorot 16,73 persen.