Kisruh Tarif Bea Materai, Ombudsman Minta Dibuat Aturan Turunan

Rabu, 06 Januari 2021 | 19:48 WIB
Kisruh Tarif Bea Materai, Ombudsman Minta Dibuat Aturan Turunan
Anggota Ombudsman RI Alvin Lie. (Suara.com/Ria Rizki).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kebijakan tarif bea materai sebesar Rp10.000 menimbulkan polemik. Sejumlah nasabah bank mengeluhkan kebijakan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.

Keluhan sampai ke anggota Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie. Alvin Lie mengatakan telah mendapat laporan dari masyarakat bahwa ada pihak bank yang meminta biaya materai tambahan, yang nilainya melebihi yang diterapkan dalam UU.

"Pihak bank menolak menghargai bea materai Rp3.000 yang sudah tercetak pada buku cek. Kemudian, nasabah tersebut diharuskan menambah materai baru senilai Rp10.000. Total bea materai yang harus dibayar nasabah sebesar Rp13.000," kata Alvin, Rabu (6/1/2021).

Seharusnya, kata dia, bank meminta tambahan kekurangan bea materai sebesar Rp7.000 saja, bukan Rp10.000.

Baca Juga: RS di Jateng Full, Ombudsman Minta Rumah Sakit Rujukan Covid-19 Diperbaiki

Itulah sebabnya, dia meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Otoritas Jasa Keuangan segera menerbitkan aturan turunan dari UU tersebut.

"Untuk menghindari kekisruhan dan kerugian masyarakat, Ombudsman menyerukan kepada menkeu dan OJK untuk segera menerbitkan peraturan pelaksanaan UU tersebut, terutama kepada bank. Hal ini tentang cara penambahkan kekurangan biaya materai, sehingga bank tidak memungut biaya dua kali," kata dia.

Membuat resah investor

Rencana pemerintah memberlakukan bea meterai atau bea materai atas transaksi surat berharga termasuk saham di Bursa Efek Indonesia juga membuat para investor pasar modal resah.

Sejumlah investor ritel menolak rencana pengenaan bea materai Rp10.000 pada setiap transaksi saham yang dilakukan.

Baca Juga: Bansos Tak Tepat Sasaran, Puluhan Warga Jogja Lapor ke LOD DIY

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konfrensi pers secara virtual, Senin (21/12/2020), meluruskan informasi yang beredar.

"Karena yang muncul hari ini terutama terkait saham, seolah-olah setiap transaksi saham akan dikenakan bea meterai. Padahal itu bukan pajak dari transaksi tapi pajak atas dokumennya," kata Sri Mulyani.

Dia menambahkan di dalam bursa saham bea meterai dikenakan atas Trade Confirmation atau konfirmasi perdagangan yang merupakan dokumen elektronik yang diterbitkan secara periodik yaitu harian atas keseluruhan transaksi jual beli di dalam periode tersebut.

Artinya, kata Sri Mulyani, para investor saham hanya cukup sekali melakukan bea materai atas setiap dokumen dalam melakukan aksi jual beli saham.

"Jadi dalam hal ini bea meterai tidak dikenakan per transaksi saham," katanya

Sri Mulyani menegaskan pengenaan bea meterai terhadap dokumen transaksi surat berharga itu akan mempertimbangkan batas kewajaran nilai sehingga tidak akan menekan minat para investor untuk melakukan investasinya di surat berharga.

Investasi saham yang dilakukan kaum milenial cukup tinggi sehingga Sri Mulyani tidak ingin kebijakan yang merusak minat kaum mereka.

"Saya senang generasi milenial sangat sadar terhadap investasi. Kita senang mereka melakukan investasi saham maupun surat berharga ritel yang diterbitkan pemerintah selama ini. Jadi kita tidak berkeinginan menghilangkan minat maupun tumbuhnya para investor terutama generasi baru," kata dia.

Dia menjamin pemerintah akan mempertimbangkan batas kewajaran dalam pengenaan bea meterai terhadap dokumen TC.

Sri Mulyani berharap masyarakat tidak perlu bereaksi berlebih atas kebijakan baru tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI