Suara.com - Lembaga Pengelola Investasi (LPI) resmi terbentuk seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun2020 yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang 11/2020 tentang Cipta Kerja.
PP tersebut diteken Presiden pada 14 Desember 2020 dan diundangkan sehari setelahnya. Dalam modal dasarnya nanti pemerintah akan menyuntikan dana hingga Rp 75 triliun, saat ini baru sekitar Rp 15 triliun.
Dari penggunaan dana tersebut, LPI akan menawarkan sejumlah proyek infastruktur strategis yang bakal digarap seperti jalan tol, bandar udara hingga pelabuhan.
Hal tersebut dikatakan Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga dalam sebuah diskusi virtual bertajuk Sovereign Wealth Fund: Sarana Pembangunan Indonesia, Senin (28/12/2020).
Baca Juga: Pesantran FPI Markaz Syariah Digusur, Ternyata Berdiri di Lahan BUMN
Selain itu kata Arya, sektor potensial yang bisa digarap adalah kesehatan, pariwisata dan teknologi.
"Investor bisa masuk ke investasi/modal saja ataupun dalam operasional. Misalnya, tertarik mengelola bandara Soetta maka akan dibentuk anak perusahaan AP (Angkasa Pura) yang tunduk ke SWF. Anak perusahaan ini tetap mayoritas dikuasai AP. Jadi bukan AP yang diinject tetapi anak perusahaannya," papar Arya.
Sehingga dengan mekanisme ini kata Arya investor asing bisa menanamkan modalnya di perusahaan BUMN.
"Investor asing bisa masuk ke BUMN melalui anak perusahaan," Ungkap Arya.
Arya pun mengakui bahwa masuknya investor asing ke perusahaan BUMN lewat LPI berpotensi menimbulkan isu negatif. Namun kata dia mekanisme dalam LPI sudah diatur sedemikian rupa terkait penanaman modal investor asing.
Baca Juga: Profil Pahala Nugraha Mansury, Wakil Menteri BUMN yang Baru
"Yang berat di isu, ini akan dimiliki asing yang akan digoreng-goreng isunya. (Namun) Semua patuh dengan rambu-rambu mana yang boleh dan tidak dimiliki asing. Misalnya, di tol diperbolehkan asing masuk karena tujuannya agent development," paparnya.
Arya pun menyadari keterlibatan investor asing dalam pembangunan infrastruktur dalam negeri tak bisa dipisahkan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah.
"Butuh dana asing engga bisa dari APBN terus akan berat. Makanya, apa yang dimiliki BUMN akan dilaverage. Yang jadi masalah adanya isu bahwa ini akan dijual ke asing," katanya.
"Padahal, kalau tidak gitu sulit kita tidak mau terus berutang. Kalau berpangku ke APBN ga bisa banyak yang dibangun, kalau utang nanti numpuk utangnya. Jadi kita butuh investasi untuk dikelola bersama. Ini bukan soal jual aset, tetapi mengelola aset kita," tambahnya.
Arya mengatakan, keberadaan LPI sudah sangat lama dinantikan, pasalnya keterbatasan anggaran APBN dalam membangun infrastruktur sangatlah minim.
"Kita harapkan akan menjadi sesuatu baru bagi Indonesia untuk mengumpulkan dana pembangunan. Selama ini dana yang diambil dari APBN atau BUMN saja. Kita butuh dana lebih besar lagi," kata Arya.
Tak hanya itu kata dia LPI juga mengatur bagaimana bisa menghasilkan uang dengan cara memanfaatkan aset yang ada, seperti aset yang dimiliki BUMN.
"Kita tahu juga BUMN yang ada punya aset yang besar, tetapi belum dimaksimalkan untuk cari uang. Ini langkah pemerintah untuk menambah pembangunan dari dana investasi luar negeri," paparnya.
Nantinya kata dia, pemerintah memperbolehkan LPI menerima aset negara dan BUMN.
Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi yang berbunyi aset negara dan aset BUMN dapat dipindahtangankan kepada LPI.
Maka dari itu keberadaan LPI menjadi sangat penting agar target pembangunan yang dicanangkan pemerintah dapat terwujud.
"Kalau bergantung ke APBN kita masih bergaya tradisional makanya dibuat SWF. Karena setiap investasi 1 persen meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,3 persen dan penciptaan kesempatan kerja rata-rata 0,16 persen," pungkasnya.