Pengamat : Sebaran Galangan Kapal Tak Merata, Konsep KEK Tak Relevan Lagi

Kamis, 24 Desember 2020 | 11:28 WIB
Pengamat : Sebaran Galangan Kapal Tak Merata, Konsep KEK Tak Relevan Lagi
Ilustrasi pelabuhan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - National Maritime Institute (Namarin) menilai, konsep sentralisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ataupun Free Trade Zone (FTZ) sudah tidak relevan lagi, ketika industri di wilayah tersebut justru berkompetisi dengan industri sejenis di dalam negeri. Sebaran galangan kapal nasional, sampai saat ini tidak merata di seluruh Indonesia.

“Bagaimana bisa relevan, ketika misalnya industri kapal dan galangan yang sudah menyebar di banyak wilayah, kemudian harus menerima kenyataan berkompetisi dengan galangan kapal di Batam, yang menerima insentif tersebut,” ujar Direktur Namarin, Siswanto Rusdi, Jakarta, Rabu (23/12/2020).

Sebaran galangan kapal nasional sampai saat ini, tidak merata. Dari 141 pelabuhan di Indonesia yang dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pelabuhan, hanya 20 persen diantaranya yang memiliki galangan kapal. Sebagian besar terpusat di Batam, Tanjung Priok (Jakarta), dan Surabaya.

Dalam kajian yang dilakukan PT PAL 2016, pasca diterapkannya Peraturan Pemerintah 10/2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, jelas terlihat adanya ketidakadilan yang terjadi akibat sistem perpajakan yang diterapkan.

Baca Juga: KEK Tanjung Sauh: Ada Industri, Pelabuhan, dan Hutan Lindung

Industri kapal dan galangan di wilayah Batam cukup membayar pajak 1,5 persen - 3 persen, sementara pengusaha kapal dalam negeri di luar wilayah Batam harus menanggung pajak hingga 19 persen - 30,5 persen. Ini jauh lebih mahal dibandingkan impor kapal yang hanya dikenai pajak sekitar 12,5 persen - 17,5 persen.

“Kondisi ini menyebabkan galangan kapal di Indonesia yang padat teknologi, modal dan tenaga kerja, kesulitan bergerak, sehingga menyebabkan daya serap bahan baku utama mereka yakni baja ikut tersendat,” tuturnya.

Menurut Siswanto, dalam kondisi seperti ini, mestinya pemerintah memikirkan ulang konsep KEK atau  dengan kembali pada konsep klasterisasi industri yang bertujuan untuk mengintegrasikan industri.

“Sebagai contoh, industri galangan seharusnya berdekatan dengan pelabuhan dan industri baja sebagai bahan baku. Itu idealnya, dalam kondisi saat ini semestinya diberikan insentif terhadap industri-industri yang saling berkaitan,” paparnya.

Sementara jika pemerintah bersikeras mempertahankan konsep KEK maupun FTZ, maka pemerintah semestinya tegas. Apalagi hasil penyelidikan mendalam yang dilakukan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dinyatakan bahwa pelaku usaha dari luar negeri telah terbukti mengakibatkan kerugian pada industri dalam negeri.

Baca Juga: Menko Airlangga: Realisasi Investasi KEK Galang Batang Capai Rp 11 Triliun

Di samping itu, lanjutnya, pengenaan Bea Masuk Atas Dumping (BMAD) perlu dilakukan agar tidak merugikan pelaku usaha asing yang telah berinvestasi dan industri dalam negeri serta negara secara terus menerus.

Berdasarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2018, disebutkan bahwa dengan belum dikenakannya bea masuk anti dumping oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terhadap pengeluaran bahan baku dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP), negara berpotensi dirugikan sebesar Rp 34 miliar.

Senada dengan Siswono, dalam kesempatan terpisah, Suyono Saputra, pengajar Universitas Internasional Batam, yang melakukan riset mendalam terhadap strategi manajemen di kawasan perdagangan bebas di Batam, Bintan, dan Karimun menilai, penerapan KEK dan FTZ keliru karena ketidaktegasan pemerintah.

“Penerapan KEK dan FTZ jadi salah arah, karena insentif yang seharusnya ditujukan untuk memacu produksi bertujuan ekspor, justru bertarung dengan produk lokal sejenis. Itu makanya produsen lokal menjerit,” paparnya.

Dalam kasus industri kapal dan galangan, mantan jurnalis media ekonomi terbesar di Indonesia tersebut mendapati ketidaktegasan pemerintah ketika membiarkan bahan baku dan hasil produksi yang ditujukan bagi pasar lokal justru tidak dikenai pajak yang seharusnya.

“Ya, wajar jika produsen bahan baku baja dalam negeri hingga industri kapal dan galangan di luar Batam menjerit,  ketika harus berhadapan dengan industri sejenis di Batam yang mendapatberagam insentif. Kalau mau adil, pemerintah harus menerapkan pajak yang benar,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI