Suara.com - Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan terkait dengan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5 persen telah mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19 dan bisa menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan seputar Industri rokok yang selalu ada sampai saat ini. Tapi apakah kebijakan itu sudah cukup?
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, berdasarkan kajian yang dia lakukan, kenaikan tarif cukai tidak mampu mewujudkan 4 pilar yang telah ditargetkan Pemerintah.
Ia menilai, kenaikan cukai rokok dalam kondisi normal saja akan mengurangi keterjangkauan atau daya beli masyarakat, apalagi dalam kondisi pandemi COVID-19 seperti ini. Namun, berdasarkan asumsi yang dibangun Badan Kebijakan Fiskal (BKF), justru affordability mengalami kenaikan.
Selanjutnya keterjangkauan masyarakat terhadap harga rokok, dimana Indonesia menempati urutan ke 3 di Asia dan 12 di Asean, itulah yang kemudian menurut Enny harus menjadi pertimbangan pemerintah, bukan justru diabaikan.
"Dari 2 data itu bisa disimpulkan harga rokok tidak bisa dikatakan murah, dan tingkat keterjangkauan masyarakat cukup jauh atau tidak mudah. Jadi artinya kenapa keterjangkauan ini penting karena kalau dikatakan mereka elastisitasnya, relatif elastis, maka mereka akan mencari substitusinya yang larinya ke rokok ilegal,” jelasnya dalam diskusi daring Akurat Solusi dengan tema, 'Kenaikan Cukai Tembakau: Solusi atau Simalakama?' di Jakarta, Rabu (23/12/2020).
Enny mengungkapkan, kedua hal itu yang menghubungkan apakah kenaikan CHT ini mampu untuk menekan prevalensi orang merokok atau tidak. Sebab apabila dikorelasikan dengan data beberapa tahun yang lalu ia merasa tidak ada kesinambungan.
“Nah artinya, saya gabisa langsung menyimpulkan bahwa kenaikan CHT tidak mempengaruhi prevalensi, tidak. Tetapi berarti dari data ini kenaikan CHT bukan satu-satunya instrumen untuk menurunkan prevalensi rokok, itu pasti. Karena data bilang gitu,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Enny menegaskan, kebijakan kenaikan tarif CHT ini tidak menjawab persoalan prevelensi rokok apalagi menjawab soal peningkatan penerimaan negara karena industri dihantam oleh kondisi pandemi.
“Justru mendorong peredaran rokok ilegal yang akan memperlemah kinerja industri yang ujungnya berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Kalau 4 pilar itu tidak terjawab semua lalu kenaikan CHT ini untuk apa?” tukas Enny.
Baca Juga: Tangkap BCL, Polisi Musnahkan Narkoba Jenis Tembakau Gorila
Hasil survei yang dilakukan oleh Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah, pun seperti menunjukkan hasil yang sama.