Suara.com - Pemerintah mewajibkan para wisatawan yang naik pesawat ke Bali untuk melakukan test swab Polymerase Chain Reaction (PCR) pada H-2 sebelum keberangkatan. Sementara, wisatawan yang melakukan perjalanan darat ke Bali wajib melakukan tes rapid antigen H-2.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, kebijakan ini membuat banyak wisatawan membatalkan kunjungannya ke Bali.
Dari data yang dimiliki Hariyadi sebanyak 113 ribu paket perjalanan ke Bali senilai Rp 317 miliar pun buyar begitu saja, ini termasuk pengembalian tiket pesawat.
"Berapa sih transaksinya yang terdampak ini? Data sampai semalam Rp 317 miliar," jelas Hariyadi, dalam sebuah webinar di tulis Kamis (17/12/2020).
Baca Juga: Harga Pesawat Tiket Jakarta-Bali Jadi 2 Kali Lipat Setelah Tes Swab Antigen
Hariyadi pun mengakui bahwa kebijakan ini membuat para wisatawan keberatan karena harus mengeluarkan uang berlebih untuk berlibur ke Bali pada perayaan Natal dan Tahun Baru 2021.
"Kami disibukkan oleh komplain masyarakat yang mau berkunjung ke Bali, tahu-tahu ada permintaan PCR. Memang agak mengkhawatirkan. Data yang kita olah sampai semalam terjadi permintaan refund tiket sampai 133 ribu pack," katanya.
Kebijakan pemerintah mewajibkan test swab atau PCR H-2 bagi penumpang pesawat menuju ke Bali dan rapid test antigen bagi perjalanan darat menimbulkan masalah baru.
Pasalnya ketersediaan logistik alat tes hingga sumber daya manusia (sdm) pelaksananya bakal menjadi hambatan bagi penumpang selain itu biaya rapid tes antigen juga belum diatur biaya maksimumnya.
"Biaya rapid test antigen di Bandara Soetta itu dipatok sebesar Rp 385 ribu. Hingga saat ini Pemerintah belum mengatur biaya maksimum untuk Rapid Test Antigen. Yang diatur hanya Rapid Test Antibodi dan Test Swab PCR," kata pemerhati penerbangan yang juga anggota Ombudsman Alvin Lie dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (17/12/2020).
Baca Juga: Jadi Syarat Masuk ke Bali, Berapa Tarif Rapid Test Antigen?
Menurut dia sudah lama Kementerian Kesehatan tidak menerima Rapid Test Antibodi sebagai instrumen deteksi, namun Pemerintah tetap syaratkan test tersebut untuk perjalanan, hal tersebut kata dia mengacu pada SE No.9 Gugus Tugas yang telah dibubarkan.
"Lalu bagaimana dengan SE 9 Gugus Tugas? Masih berlakukah? Bagian terakhir SE tersebut menyatakan bahwa SE tersebut berlaku hingga berakhirnya Keputusan Presiden no. 11 Tahun 2020," paparnya.
Padahal kata Alvin Gugus Tugas sendiri sudah lama dibubarkan, namun SE-nya tetap berlaku dan jadi landasan peraturan banyak pihak.
"Tidak ada peraturan yang mencabut/ membatalkan SE 9 Gugus Tugas yang mengatur Hasil Uji COVID-19 sebagai syarat syarat bepergian dengan transportasi publik," ucapnya.
Yang jadi catatannya juga Permenkes No. 413/ 2029 juga tidak menyatakan mencabut Rapid Test sebagai syarat perjalanan menggunakan transportasi publik. "Permenkes tersebut menyatakan bahwa Rapid Test tidak lagi digunakan sebagai instrumen deteksi," ucap Alvin.
"Permenkes tersebut mengatur tentang kebijakaan umum deteksi, pelacakan, isolasi/ karantina dan perawatan. Tidak secara spesifik mengatur tentang syarat perjalanan," tambahnya.
Menurut Alvin syarat perjalanan diatur oleh SE Gugus Tugas No. 9 tahun 2020. Namun SE tersebut tidak syaratkan Rapid Test Antigen. Juga mengatur bahwa Surat Keterangan Hasil Uji Covid-19 berlaku 14 hari bukan 2 hari.
"Aneh memang SE diperlakukan sebagai landasan peraturan," katanya.
Alvin pun menuding bahwa kebijakan rapid tes antigen ini hanya semata untuk kepentingan bisnis.
"Patut diduga kebijakan wajib Rapid Test Antigen ini rawan ditunggangi kepentingan bisnis," katanya.
"Seperti halnya ketika SE 9 menetapkan Surat Keterangan Hasil Uji Covid-19 berlaku 14 hari, patut dipertanyakan juga apakah ada kajian ilmiah yang dijadikan rujukan untuk menetapkan batas pelaksanaan test Covid-19 maksimum 2 hari sebelum keberangkatan," pungkasnya.