Suara.com - Kebijakan pemerintah mewajibkan test swab atau PCR H-2 bagi penumpang pesawat menuju ke Bali dan rapid test antigen menimbulkan masalah baru.
Pasalnya ketersediaan logistik alat tes hingga sumber daya manusia pelaksananya bakal menjadi hambatan bagi penumpang selain itu biaya rapid tes antigen juga belum diatur biaya maksimumnya.
"Biaya rapid test antigen di Bandara Soetta dipatok sebesar Rp 385 ribu. Hingga saat ini Pemerintah belum mengatur biaya maksimum untuk Rapid Test Antigen. Yang diatur hanya Rapid Test Antibodi dan Test Swab PCR," kata pemerhati penerbangan yang juga anggota Ombudsman Alvin Lie, Kamis (17/12/2020).
Menurut Alvin, sudah lama Kementerian Kesehatan tidak menerima Rapid Test Antibodi sebagai instrumen deteksi, namun Pemerintah tetap mewajibkan test tersebut untuk perjalanan mengacu pada SE No.9 Gugus Tugas yang telah dibubarkan.
Baca Juga: Mulai 18 Desember Keluar-Masuk Jakarta Wajib Rapid Test Antigen
"Lalu bagaimana dengan SE 9 Gugus Tugas? Masih berlakukah? Bagian terakhir SE tersebut menyatakan bahwa SE tersebut berlaku hingga berakhirnya Keputusan Presiden no. 11 Tahun 2020," paparnya.
Padahal kata Alvin Gugus Tugas sendiri sudah lama dibubarkan, namun SE-nya tetap berlaku dan jadi landasan peraturan banyak pihak.
"Tidak ada peraturan yang mencabut/membatalkan SE 9 Gugus Tugas yang mengatur Hasil Uji COVID-19 sebagai syarat syarat bepergian dengan transportasi publik," ucapnya.
Yang jadi catatannya juga Permenkes No. 413/ 2029 juga tidak menyatakan mencabut Rapid Test sebagai syarat perjalanan menggunakan transportasi publik.
"Permenkes tersebut menyatakan bahwa Rapid Test tidak lagi digunakan sebagai instrumen deteksi. Permenkes tersebut mengatur tentang kebijakaan umum deteksi, pelacakan, isolasi/ karantina dan perawatan. Tidak secara spesifik mengatur tentang syarat perjalanan," tambahnya.
Baca Juga: Ikut Perintah Luhut, Mulai 18 Desember Masuk Jakarta Wajib Rapid Antigen
Menurut Alvin syarat perjalanan diatur oleh SE Gugus Tugas No. 9 tahun 2020. Namun SE tersebut tidak syaratkan Rapid Test Antigen. Juga mengatur bahwa Surat Keterangan Hasil Uji Covid-19 berlaku 14 hari bukan 2 hari.
"Aneh memang SE diperlakukan sebagai landasan peraturan," katanya.
Alvin pun menyebut bahwa kebijakan rapid tes antigen ini hanya semata untuk kepentingan bisnis.
"Patut diduga kebijakan wajib Rapid Test Antigen ini rawan ditunggangi kepentingan bisnis. Seperti halnya ketika SE 9 menetapkan Surat Keterangan Hasil Uji Covid-19 berlaku 14 hari, patut dipertanyakan juga apakah ada kajian ilmiah yang dijadikan rujukan untuk menetapkan batas pelaksanaan test Covid-19 maksimum 2 hari sebelum keberangkatan," pungkasnya.