Suara.com - Simfoni dan harmoni menjadi jiwa atau sukma yang menghidupi perjalanan The Kilisuci sejak berdiri pada awal 2010 hingga berkembang dan kini harus menghadapi gelombang pandemi Covid-19. Menjadi pebisnis, sejatinya bukan melulu soal untung dan rugi. Melainkan harus ada filosofi yang mendasarinya.
Ada nilai-nilai yang selalu dijadikan pegangan saat berjalan di dunia yang penuh tantangan. Menjaga warisan, melanggengkan tradisi dan menjadi penyeimbang untuk menjaga keberlangsungan alam. Nilai-nilai itulah yang selalu menjadi pegangan bagi Inin Shilviana Nurul Hadi dalam mengembangkan The Kilisuci, UMKM fesyen unik asal Yogyakarta.
Hal itu pula yang akhirnya memantapkan hati Inin untuk mengembangkan produk fesyen berbahan dasar prodo dansurjan, dua jenis kain tradisional di Tanah Jawa, yang dari segi pamor masih kalah dibandingkan dengan batik.
Prodo dengan kemewahan serta citarasa resmi yang melekatdengannya membuat jenis kain ini hanya memiliki pangsa pasar yang sangat terbatas. Sulit menemukan prodo digunakan oleh banyak pihak.
"Keberadaannya (prodo) bagaikan hidup segan mati tak mampu. Di sini saya melihat ada tantangan sekaligus kewajiban untuk melestarikan kain prodo ini," ujar Inin membuka perbincangan. Panggilan hati untuk melanggengkan warisan budaya itulah yang menggerakan Inin untukmendirikan Kilisuci yang fokus pada pembuatan busanaberbahan dasar kain prodo.
Namun berbalik kondisi dengan prodo, kain surjan justru hidup abadi. Keberadaannya telah melampaui rentang waktu 500 tahun. Hanya saja, keabadian itu justru tidak mengangkatpamor surjan.
"Karena itu kami di The Kilisuci memikirkan bagaimana kami bisa berkontribusi untuk melanggengkan kain prodo dan kain surjan ini di kalangan masyarakat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga dunia," katanya. Dari tangan Inin, kain prodo dan surjan pun menjelma menjadi busana-busana cantik, berkelas dan dapat digunakan secara luas.
Pandemi Covid-19 telah menjadi tantangan tersendiri bagibanyak pelaku usaha UMKM. Tidak terkecuali bagi The Kilisuci.
Usaha fesyen yang telah dirintis selama 10 tahun punbabak belur. Apalagi, produk fesyen The Kilisuci bergulat di segmen formal seperti pakaian pengantin, jas, kemeja, juga beragam atasan untuk kegiatan resmi. Bagi The Kilisuci, dampak pandemi membuat permintaan bagi gaun dan baju-baju resmi merosot drastis.
Baca Juga: BRI Data Hackathon 2021 Dorong Transformasi Digital dan Literasi Data
"Untuk lini fesyen, praktis tidak ada pesanan," kata Inin. Akibatnya, Inin mau tidak mau harus memangkas jumlah pegawai, bahkan dengan berat hati merumahkan pekerja. Dari 17 pegawai, kini The Kilisuci hanya ditopang oleh 4-5 pegawai.