Inclusive Closed Loop: Jalan Menuju Industri Sawit Berkelanjutan

Kamis, 03 Desember 2020 | 22:08 WIB
Inclusive Closed Loop: Jalan Menuju Industri Sawit Berkelanjutan
Franky Oesman Widjaja, Chairman Sinar Mas Agribusiness & Food. [Dok GAR]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Praktik perkebunan sawit berkelanjutan adalah solusi bagi pemenuhan kebutuhan dunia akan minyak nabati.

Dengan lahan yang lebih sedikit, sawit mampu menghasilkan minyak nabati yang lebih banyak dibandingkan sumber minyak nabati lainnya.

Franky Oesman Widjaja, Chairman Sinar Mas Agribusiness & Food  saat memberikan sambutan pada Indonesian Palm Oil Conference 2020, Kamis (3/12/2020), mengatakan populasi global yang diperkirakan mencapai 9,8 miliar pada tahun 2050 berpotensi meningkatkan kebutuhan minyak nabati hingga 200 juta ton setiap tahun.

"Itu untuk kebutuhan pangan, energi dan juga barang kebutuhan sehari-hari. Minyak kelapa sawit dapat menjadi solusi jangka panjang karena produktivitasnya yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Dengan lahan yang lebih sedikit, mampu menghasilkan minyak nabati yang lebih banyak,” ujar dia.

Baca Juga: Kabar Baik, Gapki Sebut Produksi Minyak Sawit Tunjukkan Pemulihan

Franky menambahkan, pengembangannya melalui skema Inclusive Closed Loop yang tidak saja meningkatkan produksi secara berkelanjutan, namun juga meningkatkan kesejahteraan para petani, dan mengurangi pelepasan emisi.

Dia bilang, skema ini telah dijalankan oleh perusahaan/lembaga yang tergabung di dalam Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture (PISAgro) dan telah menjangkau hingga satu juta petani pada awal tahun 2000.

"Hasilnya, produktivitas mereka meningkat antara 40 sampai 76 persen sementara pendapatan bertambah antara 50 hingga 200 persen bergantung pada jenis komoditasnya."

Melalui kemitraan lintas pihak, dia mengatakan, petani benar-benar mendapatkan pendampingan penuh dari perusahaan.

Franky optimistis komoditas minyak sawit dapat berkontribusi mengantarkan Indonesia menjadi ekonomi ke tujuh dunia terbesar dari segi GDP di tahun 2030, sebagaimana analisis sejumlah lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), McKinsey dan Price Waterhouse.  

Baca Juga: Disertai Suara Ledakan, Satu Mobil Bank Sinarmas Terbakar Dini Hari Tadi

Lebih lanjut, Franky mengatakan, petani kecil yang mengelola hingga 41 persen dari total 16,38 juta hektar perkebunan kelapa sawit, adalah kelompok yang paling rentan dalam rantai nilai.

Produktivitasnya rendah, rata-rata 2 hingga 3 ton per hektare per tahun, jauh tertinggal dibandingkan standar industri yang 5 ton ingga 6 ton per hektare per tahun.

"Pohon kelapa sawit di Indonesia saat ini banyak yang sudah tua, dan banyak pula yang tidak memakai benih bersertifikat sehingga perlu peremajaan,” ujarnya. 

Pemerintah Indonesia telah mempromosikan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk mengganti tanaman sawit yang sudah tidak produktif agar roduktivitasnya sesuai standar industri, dengan skema inclusive closed loop.

"Dengan model kemitraan ini, petani kecil mendapatkan bimbingan praktik budidaya pertanian yang baik dan ramah lingkungan, benih unggul bersertifikat, teknologi tepat guna, literasi keuangan, akses pendanaan berikut jaminan penyerapan hasil produksi oleh perusahaan pendamping (off-taker) yang berlangsung di bawah naungan koperasi," pungkasnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI