Suara.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap akan memungut pajak penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik (PTE) perusahan digital asing yang menjalankan usahanya di Indonesia.
Selama ini, kata Sri Mulyani pemerintah telah berhasil memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari perusahaan digital asing yang mendapat keuntungan di Indonesia.
"Kita tetap pemungutan PPn. Walaupun untuk agreement tidak dibutuhkan, kita tetap melakukan hak pemajakan dari RI. Untuk PPh-nya ini lebih pada bagaimana settlement mengenai pembagian dari keuntungan," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual yang ditulis, Rabu (2/12/2020).
Dalam memungut PTE itu, Sri Mulyani akan menggunakan aturan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya pada klaster perpajakan.
Baca Juga: Pajak Daerah di Indonesia: Antara Close List dan Open List System
Dengan aturan tersebut, jelasnya, pemerintah mempunyai kewenangan untuk menarik PTE dari perusahaan digital asing.
"Kemudian juga UU mengenai perpajakan kita di dalam Cipta Kerja maupun Perppu, tentu secara estimasi kita bisa katakan income yang dia peroleh dari RI pasti bisa diestimasi berdasarkan pembayaran PPN. Ini bisa saja dijadikan bahan sebagai teman-teman pajak untuk pemungutan PPh," ucap dia.
Namun demikian, Sri Mulyani berharap organisasi dunia seperti OECD bisa satu suara sepakat atas konsensus pajak digital. Dengan begitu, pemerintah bisa leluasa memungut PTE tersebut.
Akan tetapi, jika tak ada kesepakatan antara negara-negara yang masuk dalam OECD, maka Sri Mulyani tetap bersikeras memungut pajak tersebut.
Hanya saja, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini tak merinci kapan ia mulai memungut PTE itu.
Baca Juga: Investasi Terhambat Masuk Dinilai Karena Tarif Pajak Daerah Terlalu Tinggi
"Pemerintah Indonesia akan tetap pemungutan sesuai peraturan UU yang dimiliki yang kita anggap hak pemajakan terutama PPn yang selama ini sudah mulai dilakukan dan tentu dari sisi income tax yaitu income yang mereka generate dari operasi mereka di Indonesia," pungkasnya.