Tata Kelola Hulu Migas Butuh Pembenahan

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 27 November 2020 | 19:50 WIB
Tata Kelola Hulu Migas Butuh Pembenahan
Ilustrasi blok migas. [skkmigas.go.id]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peningkatan iklim berusaha, sanctity of contract, dan adanya peraturan yang saling mendukung merupakan kata kunci untuk memperbaiki tata kelola hulu migas yang dibutuhkan demi meningkatkan investasi hulu migas Indonesia.

Persyaratan itu menjadi mutlak untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar gas kaki kubik per hari (BSCFD) pada tahun 2030.

Demikian dikatakan Tenaga Ahli Komite Pengawas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Nanang Abdul Manaf, saat menjadi pembicara dalam Forum Group Discussion (FGD) Tata Kelola Hulu Migas dalam Mendukung Pencapaian Target Produksi.

Persyaratan tersebut merupakan kesimpulan yang disampaikan, setelah menampilkan beberapa contoh negara yang telah berhasil meningkatkan produksinya, yaiu Libya, Mesir dan Malaysia.

Baca Juga: SKK Migas Incar Ekplorasi Masif untuk Penemuan Cadangan Migas Besar

“Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang telah berhasil meningkatkan produksi. Saat terjadi revolusi Arab Spring, Lybia masih melakukan impor minyak, tetapi sekarang mereka telah menjadi eksportir minyak. Kolombia dan Malaysia, ke dua negara itu melakukan perubahan radikal pada sistem tata kelola migas, misalnya untuk lapangan marginal dibuat sesimpel mungkin sehingga menarik investor untuk masuk ke lapangan marginal maupun lapangan kecil,” kata Nanang, Jumat (27/11/2020).

Reformasi tata kelola migas di negara Mesir dan Kolumbia, kata Nanang, terjadi sangat dramatikal, karena setelah dilakukan perbaikan-perbaikan maka hanya butuh waktu tiga tahun untuk membuat produksi negara tersebut meningkat pesat.

Stakeholders collaboration telah dilakukan di negara lain sehingga mampu membangun iklim investasi migas yang menarik investor. Hal yang sama harus dilakukan Indonesia.

Hal ini akan tercermin dari kebijakan, regulasi dan praktik-praktiknya. Paling mudah, jika sektor ini dianggap vital dan penting, maka saat sektor migas berhadapan dengan sektor lain, sektor migas akan menjadi prioritas.

“Misalnya, lokasi migas terdapat perkebunan atau pertambangan dan lainnya, maka yang diprioritaskan adalah pembebasan lahan untuk migas. Hal-hal semacam ini dilakukan di negara lain termasuk Mesir. Keunggulan di Mesir adalah kesucian kontrak PSC-nya disepakati. Tidak ada institusi lain yang bisa men-challenge, sehingga dalam waktu 30 tahun hak-hak investor yang ada di kontrak PSC di Mesir dilindungi,” kata Nanang.

Baca Juga: Terkontraksi Akibat Wabah, Industri Hulu Migas Butuh Keberlangsungan

Pengamat energi dari Institut Teknologi 10 November, Mukhtasor mengatakan, dalam rangka meningkatkan daya saing, ada tiga aspek yang harus dibenahi, yaitu legal, finance, dan operasi, kemudian fokus pada aspek governance, risks dan compliance.

“Penekanan governance agar tercipta tata kelola hulu migas yang akuntabel, transparan dan partisipatif. Untuk mencapai hal ini butuh kekuatan pada aspek kepemimpinan, informasi dan strategi yang tepat,” katanya.

Mukhtasor menegaskan, tata kelola harus diperbaiki, termasuk UU Migas-nya. Keterlambatan revisi UU migas menunjukkan industri ini tidak menjadi prioritas negara. Seharusnya sejak Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan, sudah segera ada UU yang baru.

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi, memaparkan pentingnya sinergi dan kolaborasi antar-pemangku kepentingan dalam mewujudkan tata kelola hulu migas yang baik di Indonesia. Masing-masing ego sektoral yang berbeda disingkirkan. Kemudian, untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, maka seharusnya memberikan stimulus insentif fiskal dan non-fiskal.

“Jika Indonesia tidak memberikan, maka akan kalah dalam bersaing. Target 1 juta barel per hari mustahil bisa direalisasikan,” kata Fahmi.

Kepala Divisi Formalitas SKK Migas, Didik S. Setyadi, mengatakan, membicarakan tata kelola itu akan terkait pada kebijakan publik.

“Prinsip-prinsip penatakelolaan didasarkan atas kedaulatan, kemanfaatan, dan keadilan yang diinginkan, kemudian negara membuat regulasi, adminstrasi atau birokrasi dan manajemen yang kemudian output dan outcome akan dihasilkan,” kata Didik.

Mengelola kekayaan hulu migas nasional butuh proses yang panjang dan dukungan dari berbagai pihak, terlebih sektor hulu migas yang membutuhkan modal yang tinggi, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Jika dibandingkan secara internasional, migas Indonesia sangat kecil terhadap investasi sektor migas secara keseluruhan.

Namun, kata Didik, perlu disadari bahwa sampai saat ini negara masih mengakui akan kontribusi migas yang cukup penting dalam penerimaan negara.

Dari angka-angka, penerimaan negara Indonesia dibandingkan sumber daya alam lainnya, penerimaan dari migas masih memiliki nilai yang signifikan. Terlepas dari persentase penerimaan negara secara total dengan pajak yang tertinggi, dan dibandingkan dengan sumber daya alam lainnya, penerimaan negara dari migas masih unggul.

“Harusnya, ini menjadi dasar keberpihakan negara dalam kegiatan hulu migas,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI