Miris! 95 Persen Bahan Baku Obat di Indonesia Masih Impor

Minggu, 08 November 2020 | 11:04 WIB
Miris! 95 Persen Bahan Baku Obat di Indonesia Masih Impor
Menristek, Bambang Brodjonegoro dalam jumpa pers virtual, Rabu (2/9/2020). [Kemenristek]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro mengatakan, saat ini hampir sebagian besar produksi obat dalam negeri bahan bakunya berasal dari luar negeri.

"Betul dalam bentuk akhirnya atau kapsulnya sudah dibuat di Indonesia, tapi bahan bakunya 95 persen impor. Artinya itu cukup menguras devisa kita,” ujar Bambang dalam webinar ditulis, Minggu (8/11/2020).

Menurut Bambang, saat ini Indonesia masuk ke jajaran negara dengan biodiversity terbesar di dunia. RI hanya kalah dari Brazil.

“Indonesia adalah negara biodiversity yang terbesar di dunia, nomor dua. Kalau kita hitungnya yang ada di daratan, kalah dari Brasil.

Baca Juga: Vaksin Merah Putih untuk Covid-19 Ternyata Dikembangkan Enam Lembaga Ini

Tapi, jika biodiversty Indonesia digabungkan antara laut dan daratan, Indonesia yang terbesar.

"Tapi kalau kita kombinasikan biodiversity di daratan dan lautan, maka Indonesia adalah nomor satu. Di lautan banyak sekali potensi bahan baku obat. Bahkan ada yang mengatakan di masa depan bahan baku obat itu adanya di laut, tidak lagi di darat,” kata dia.

Namun, lanjut dia, untuk memanfaatkan hal tersebut perlu dilakukan riset yang mendalam. Bahkan, hal itu tak mudah dilakukan dan akan memakan banyak biaya.

“Banyak yang mengeluhkan proses uji klinis itu lama dan mahal. Ini yang kadang-kadang membuat pihak yang mengembangkan OMAI (Obat Modern Asli Indonesia) ini agak terganggu untuk bisa terus sampai tahap akhir,” ungkapnya.

Selain itu, kata dia, untuk mengembangkan OMAI atau obat berbahan baku herbal di Indonesia diperlukan dukungan dan pengakuan dari pihak-pihak terkait.

Baca Juga: Ini 6 Lembaga yang Kembangkan Vaksin Merah Putih

Salah satu caranya dengan memasukan OMAI ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Atas dasar itu, dia berharap Kementerian Kesehatan mau merevisi aturan dan memasukan OMAI ke dalam JKN.

“Tentunya di sini harus ada pemihakan dari Kemenkes, harus ada ketegasan bahwa kita harus memprioritaskan obat yang memang basisnya dari negara kita sendiri. Ini kekayaan kita yang luar biasa yang sangat sayang sekali kalau hanya jadi catatan atau data,” ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI