Suara.com - Menanggapi polemik tentang aturan outsourcing dalam Undang-Undang Cipta Kerja, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan peraturan tersebut sudah ada sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Aturan tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Aturan tersebut, katanya, juga merupakan hasil campur tangan politik sehingga yang tadinya semua profesi boleh outsourcing, kemudian menjadi hanya lima profesi. Kelima profesi itu yakni di bidang sekuriti, katering, driver, perminyakan, dan cleaning service.
"Tapi karena dinamika politik pada pemerintahan Pak SBY, itu malah ditarik menjadi peraturan menteri, yang ini yang boleh di-outsourcing, ini yang kacau, padahal hanya contoh," ujarnya dalam konferensi pers di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Baca Juga: Desak Jokowi Batalkan Omnibus Law, 6 Ribu Mahasiswa Kepung Istana Besok
Hariyadi menuturkan dalam UU Cipta Kerja hanya mengembalikan kesalahpahaman yang dulu terjadi sehingga tak hanya lima profesi saja yang boleh mengambil tenaga kerja outsourcing.
Outsourcing, kata dia, tak selamanya buruk. Pasalnya, outsourcing hanya sebuah bisnis model yang digunakan seluruh dunia.
"Contohnya pabrik otomotif. Nggak ada pabrik motor, mobil, sepeda motor yang bisa bikin dari skrup, sampai mesin nggak ada. Semua pasti di-outsourcing. Jadi yang dikembalikan itu adalah prinsip-prinsip dari baik itu perlindungannya, maupun business modelnya. Kira-kira begitu di Cipta Kerja itu," tutur dia.
Namun demikian, Hariyadi menjamin pekerja outsourcing akan mendapat perlindungan dari sisi PHK maupun jaminan hari tua.
"Yang diatur adalah perlindungannya kepada pekerja yang bekerja di perusahaan outsourcing, itu yang harusnya diamankan, itu kita harus menghargai hak-hak normatifnya. Jadi salah kaprahnya itu dibetulkan," kata Hariyadi.
Baca Juga: Pengusaha: UU Cipta Kerja Bikin Investor Pasar Modal Sumringah