Klaim Lindungi Hak Buruh, Menaker Merasa Isi UU Ciptaker Sudah Dipelintir

Rabu, 07 Oktober 2020 | 17:26 WIB
Klaim Lindungi Hak Buruh, Menaker Merasa Isi UU Ciptaker Sudah Dipelintir
Ida Fauziyah. [Dok. Fraksi PKB]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah merasa banyak pemelintiran isi Undang Undang Cipta Kerja sehingga terjadi kesalahpahaman di masyarakat.

Ia menerangkan, salah satu yang isi yang dipelintir yaitu terkait dengak hak-hak pekerja alih daya atau outsourcing.

Menurutnya, hak-hak pekerja outsourcing masih dipenuhi di dalam UU Cipta Kerja. Misalnya, pekerja outsourcing masih mendapatkan kompensasi outsourcing setelah masa kontraknya habis.

"Beberapa hal yang terjadi pemelintiran isi dari uu ketenagakerjaan. Syarat-syarat perlindungan hak pekerja buruh alih daya masih tetap dipertahankan bahkan UU Cipta Kerja memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak bagi pekerja/ buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang obyek pekerjaan masih ada. Ini sesuai putusan MK nomor 27 tahun 2011," ujar Ida bersama 12 Menteri dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/10/2020).

Selain itu, tutur Ida, isi mengenai waktu kerja dan istirahat juga banyak yang disalahpahamkan oleh buruh.

Ida mengungkapkan, aturan waktu dan kerja itu masih mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

"Jadi UU  eksis tetap ada, tetapi kita akomodir tuntutan perlidnungan bagi pekerja/ buruh dalam bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu di era ekonomi digital berkembang dinamis seperti disampaikan Pak Menko. Jadi kita akomodasi kondisi ketengakajkerjaan akibat berkembang cepat ekonomi digtial," ucap dia.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU Cipta Kerja pada rapat paripurna digelar pada 5 Oktober 2020. Sebelum disahkan, RUU Cipta Kerja sudah menuai sorotan.

Regulasi UU Cipta Kerja tersebut dinilai memposisikan pekerja dalam kerugian. Akan tetapi, DPR tetap melakukan langkah senyap untuk mengesahkan RUU Cipta kerja itu menjadi UU Cipta Kerja. Berikut adalah pasal kontroversial UU Cipta Kerja.

Pasal tentang Penghapusan Upah Minimum

Dalam UU Cipta kerja yang sudah disahkan, salah satu poin yang tidak disepakati oleh serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK). Poin tersebut diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja bisa lebih rendah dari penghasilan yang didapatkan saat ini. Pasal ini juga kontradiktif dengan aturan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pekerja tidak boleh mendapatkan upah di bawah upah minimum. Bagaimanapun jika ditelusuri, memang tidak semua daerah memiliki UMP yang sepadan dengan pengeluaran masyarakatnya. Walaupun disebutkan penetapan UMK dan UMP berdasarkan perhitungan kebutuhan layak hidup atau KLH namun kenyataan di lapangan terkondisi hal yang berbeda dari konsep tersebut.

Pasal tentang Jam Lembur Jadi Lebih Lama

Pasal kontroversial lainnya dalam UU Cipta Kerja ialah pasal yang menyebut tentang jam lembur. Ketika UU Cipta Kerja disahkan, berarti pasal yang membuat jam lembur di kantor lebih lama itu berlaku. Ketentuan itu lebih lama daripada dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu. Sedangkan dalam draf Omnibus Law yang sekarang sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja disebutkan dalam BAB IV tentang ketenagakerjaan dalam Pasal 78 bahwa waktu kerja lembur bisa dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Pasal tentang Kontrak Seumur Hidup

Serikat buruh dan pemerhati pekerja saat ini meradang dengan adanya indikasi kontrak seumur hidup dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan. Dalam RUU Cipta Kerja sebelumnya ada poin dalam pasal 61 yang menyebutkan perihal perjanjian kerja. Di sana dicantumkan perjanjian yang intinya tentang perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Akan tetapi, terdapat tambahan dalam Pasal 61 A yang menyebutkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir. Aturan tersebut dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Dengan aturan ini, pekerja tidak diberi kesempatan untuk memilih atau menentukan sendiri kapasitas waktu yang mau dihabiskan di perusahaan tempatnya bekerja. Sebab, jangka waktu kontrak berdasarkan keputusan pengusaha dan berpotensi terjadi kontrak seumur hidup.

Rentan Pemutusan Hubungan Kerja Sewaktu-waktu

Pasal kontroversial dalam UU Cipta Kerja berikutnya masih sehubungan dengan perjanjian kerja. Seperti yang telah disebutkan dalam poin tiga di atas, ada kemungkinan pengusaha bisa mengontrak tenaga kerja seumur hidup tapi itu juga berarti pekerja dalam kondisi rentan bisa mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sewaktu-waktu dari perusahaan. Hal ini dinilai sangat merugikan pekerja.

Pasal tentang Pemotongan Waktu Istirahat

UU Cipta Kerja yang telah disahkan juga memuat jam istirahat. Dalam Pasal 79 Ayat 2 Poin b disebutkan bahwa waktu istirahat mingguan hanya satu hari dalam enam hari kerja atau dalam satu minggu.

Di samping itu, dalam ayat 5, UU Cipta Kerja disebutkan cuti panjang dua bulan per enam tahun dihapus. Cuti panjang tersebut kemudian diwajibkan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau dalam lembar perjanjian kerja bersama. Hal ini sangat kontradiktif dengan aturan dari UU Ketenagakerjaan yang telah disahkan lebih dulu.

Dalam UU ini disebutkan dan dijelaskan secara detail terkait cuti atau istirahat panjang bagi pekerja dapat dilakukan oleh pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI