Suara.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, praktik manipulasi laporan keuangan atau window dressing yang diakui terdakwa dalam pembacaan pledoi atas kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa menjadi bukti sekaligus niat jahat (mens rea) yang memberatkan terdakwa.
Isnur mengatakan, majelis hakim dapat memasukan fakta dan bukti seperti itu di persidangan sebagai faktor pemberat bagi vonis hukuman terhadap enam terdakwa kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Jiwasraya.
“Jika hasil penyidikan menemukan dugaan niat jahat (mens rea) hal itu bisa jadi tambahan untuk pemberat hukuman,” kata Isnur kepada wartawan, ditulis Jumat (2/10/2020).
Dalam kasus korupsi atau TPPU seperti Jiwasraya, Isnur menyebutkan, para terdakwa pun juga dapat dituntut menggunakan beberapa pasal mulai dari perusakan barang bukti, pembuktian adanya niat jahat atau upaya menghalangi penyidikan.
Baca Juga: Penyebab Gagal Bayar Jiwasraya Perlahan Terbongkar
Hal itu, kata dia bisa dibebankan dalan pasal-pasal yang terpisah sehingga bisa jadi acuan hakim dalam melakukan putusan kasus yang merugikan negara hampir Rp 16,8 triliun ini.
Sedangkan terkait vonis, lanjut Isnur, hal itu merupakan ranah majelis hakim yang tidak bisa diintervensi. Namun ia mengapresiasi ketika Jaksa Penuntut Umum memberikan tuntutan yang cukup berat yakni mulai dari kurungan badan selama 18 tahun hingga seumur hidup kepada terdakwa.
“Soal vonis itu nanti ranah hakim. Namun melihat tuntutan (Jaksa) sudah cukup baik,” ungkap Isnur.
Sebagai pengingat, dalam nota pembelaan mantan Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018, Hary Prasetyo mengakui, bahwa dirinya bersama Mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim, telah melakukan manipulasi laporan keuangan atau window dressing sejak pertama kali ia ditunjuk sebagai pimpinan Jiwasraya pada 2008 silam.
Praktik manipulasi laporan keuangan tersebut, kata Hary dilakukan atas sepengetahuan jajaran Kementerian BUMN selaku pemegang saham dan pejabat Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) yang kini bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca Juga: Dalam Pledoi 2 Mantan Pejabat Jiwasraya Beri Keterangan Berbeda
Tujuannya, agar manajemen Jiwasraya kala itu dapat melakukan reasuransi, serta menerbitkan produk berskema ponzi yakni JS Proteksi Plan yang akhirnya menjadikan Jiwasraya merugi seperti saat ini.
"Tentunya kondisi Jiwasraya yang sebenarnya diketahui oleh regulator, bahkan oleh BPK. Sangat tidak mudah menjaga laporan keuangan untuk tetap "solvent" meski sempat dilakukan revaluasi aset pada 2013. Apakah hal tersebut dikatakan semu? Betul, tapi tidak ada pilihan lain," kata Hary menjelaskan.
Di dalam kasus dugaan megakorupsi Jiwasraya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) diketahui telah mengganjar Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018, Hendrisman Rahim dengan tuntutan penjara badan selama 20 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Sementara Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018, Hary Prasetyo dituntut hukuman seumur hidup dan denda Rp 1 miliar.
Adapun mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya, Syahmirwan dituntut hukuman selama 18 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Sementara terdakwa dari pihak swasta yakni Joko Hartono Tirto, dituntut dengan hukuman seumur hidup dan denda Rp 1 miliar.
Sedangkan pembacaan tuntutan terhadap dua terdakwa lainnya yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, harus ditunda karena keduanya mengaku terinfeksi Covid-19 menjelang persidangan.