Selain praktik window dressing, imbuh Boyamin, faktor yang menyebabkan Jiwasraya memiliki ekuitas negatif hingga Rp 37,6 triliun per Juli 2020 juga dilatarbelakangi oleh adanya produk-produk asuransi dengan bunga pasti yang tinggi.
Satu diantaranya produk JS Proteksi Plan yang diketahui memiliki bunga pasti mulai dari 7% hingga 10% net per tahun.
Masalah pun semakin bertambah ketika manajemen lama menempatkan portofolio investasi Jiwasraya pada saham-saham berkualitas rendah, baik secara langsung atau dibungkus dengan reksadana milik terdakwa lainnya yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.
Akibatnya, pada saat nasabah ingin mencairkan dananya manajemen Jiwasraya sudah tidak memiliki aset yang likuid untuk menutup klaim yang besar tersebut.
Sementara aset likuid yang selama ini dimiliki Jiwasraya, telah habis karena tren pencairan klaim atas JS Proteksi Plan telah menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak awal 2017.
"Dan sudah menjadi fakta bahwa Jiwasraya sudah megap-megap sejak 2017. Saat itu juga sudah banyak nasabah yang mencium bahwa JS Proteksi Plan masuk dalam kategori ponzi," jelas Boyamin.
Setelah tidak memiliki aset yang likuid, melalui Direktur Utama Jiwasraya saat itu, Asmawi Syam mengumumkan gagal bayar dalam surat bertanggal 15 Oktober 2018 kepada nasabah.
"Dan pengumuman itu memang harus diungkap ke publik oleh manajemen baru untuk menenangkan nasabah yang polisnya jatuh tempo," tutup Boyamin.
Baca Juga: Sidang Ditunda, Benny Tjokro Terdakwa Kasus Jiwasraya Positif Covid-19