Persidangan kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang merugikan negara hingga Rp 16,8 triliun kembali memasuki babak baru. Yang menarik, di dalam sesi pembacaan pembelaan terdapat perbedaan suara yang signifikan diantara pledoi dua orang terdakwa yakni Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018 dengan Kepala Divisi Investasi Jiwasraya periode 2008-2018.
Suara.com - Dalam pledoinya, Hary Prasetyo mengakui bahwa untuk bisa menjalankan perusahaan selama 10 tahun dirinya bersama mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim yang saat ini juga berstatus terdakwa telah melakukan sejumlah rencana atau contigency plan.
Manajemen lama melakukan reasuransi, hingga memanipulasi laporan keuangan atau window dressing agar bisa menerbitkan JS Proteksi Plan atau produk berskema ponzi yang menyebabkan Jiwasraya mengalami kerugian.
Akan tetapi, Syahmirwan bersikukuh bahwa kondisi keuangan Jiwasraya pada periode 2008-2018 dalam keadaan yang baik.
Baca Juga: Hari Ini Kejagung Periksa 3 Tersangka Kasus Korupsi Jiwasraya
"Sangat tidak mudah menjaga laporan keuangan untuk tetap “solvent” meski sempat dilakukan revaluasi aset pada 2013. Apakah hal tersebut dikatakan semu? Betul, tapi tidak ada pilihan lain,” ujar Hary Prasetyo dalam pledoinya, Selasa (29/9).
Selain perbedaan mengenai adanya fakta window dressing, kedua orang terdakwa pun terlihat silang pendapat terkait pihak-pihak siapa saja yang dinyatakan bersalah dalam kasus dugaan korupsi Jiwasraya.
Dalam pembelaannya, Hary mengatakan bahwa dirinya menyayangkan jika di dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak menghadirkan direksi lama, mantan pejabat BUMN, hingga pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Padahal keputusan atau diskresi Direksi untuk melakukan manipulasi laporan keuangan dan penerbitan produk JS Proteksi Plan diketahui dan diberikan izin oleh para pejabat tersebut.
Sementara dalam keterangannya, Syahmirwan menyesalkan dan menjadikan Kementerian BUMN serta manajemen baru periode 2018-2023 sebagai penanggungjawab atas kerugian yang dialami Jiwasraya.
Baca Juga: Tengku: Aneh Sekali Negeri Seberang Pluto
“Namun tidak ada satu pun dari pihak pemegang saham yang diperiksa dan dimintakan keterangan dalam perkara ini dan hal ini menimbulkan dugaan bahwa ada kesengajaan untuk mengabaikan dan menyembunyikan fakta tentang kebijakan pemerintah (pemegang saham) terkait kondisi insolvent PT AJS (Persero),” demikian tertulis dalam pledoi itu.
Sebagaimana diketahui, Heru dan Syahmirwan diyakini jaksa melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Jaksa menegaskan Hary dan Syahmirwan terbukti menerima suap yang digunakan untuk kepentingan pribadinya. Perbuatan Hary dilakukan bersama Syahmirwan dan mantan Dirut Jiwasraya Hendrisman Rahim telah merugikan negara sebesar Rp 16,8 triliun.