Suara.com - Selain pandemi COVID–19, tekanan di Industri Hasil Tembakau (IHT) terus dirasakan oleh pelaku industri termasuk dalam hal kebijakan Pemerintah seperti rencana kenaikan cukai dan revisi PP 109/2019.
Wacana revisi ini sebelumnya dicetuskan oleh Kementerian Kesehatan, dimana salah satu poinnya yakni memperluas gambar peringatan bahaya merokok dari 40% menjadi 90%.
Menanggapi hal ini, Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) menyatakan, bahwa poin tersebut akan mematikan industri hasil tembakau.
“Regulasi pemerintah terkait wacana revisi PP 109/2012, membuktikan pemerintah tidak memberikan keadilan kepada pelaku IHT. Pandemi seharusnya memberi peluang bukan memperberat,” kata Ketua FSP RTMM SPSI Sudarto dalam keterangannya, Senin (28/9/2020).
Baca Juga: Bupati Temanggung Minta Industri Rokok Segera Beli Tembakau dari Petani
Dijelaskan Sudarto, kondisi IHT sebelum munculnya krisis kesehatan sudah berat, ditambah kebijakan Pemerintah untuk menaikkan cukai rokok tiap tahunnya.
Situasi ini yang kemudian mengakibatkan sejumlah pabrik rokok gulung tikar karena barangnya tidak terjual dan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Sebagai gambaran, kurun 2012-2018 tercatat 544 pabrik rokok tutup se-Indonesia karena kenaikan cukai. Jika satu pabrik memiliki 200 karyawan, maka enam tahun ini terdapat 108 ribu pekerja yang kehilangan mata pencaharian,” jelas Sudarto.
Sejatinya, IHT telah mempekerjakan hingga 6 juta orang dari hulu ke hilir, termasuk petani tembakau dan cengkeh, karyawan pabrik, dan jalur distribusi ritel.
Kontribusi IHT pada pendapatan pajak negara diperkirakan mencapai Rp 200 triliun di tahun 2019. Menyusul kenaikan cukai tinggi sebesar 23% di tahun 2020 dan dampak COVID-19, volume produksi rokok telah mengalami kontraksi.
Baca Juga: Cukai SKT Tak Naik di 2021, Petani Tembakau dan Cengkih Terlindungi
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan memperkirakan volume industri dapat turun 13 hingga 23 persen.
Setali tiga uang, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro di kesempatan yang berbeda juga menyoroti mengenai kebijakan Pemerintah di tengah pandemi dan lebih memprioritaskan mengenai penyerapan tenaga kerja di daerah. Apalagi persoalan PHK banyak dialami daerah lain.
“Kami berharap pemerintah pusat bisa menimbang-nimbang terhadap kebijakan yang akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja,” tegas Bupati Bojonegoro Anna Muawanah.
Di Bojonegoro sendiri kata Anna industri tembakau merupakan sumber perekonomian masyarakat karena menyerap banyak tenaga kerja.
Anna mengatakan, pemerintah daerah telah memastikan bahwa sektor pertanian ini masih berada pada kondisi normal.
Meski sebelumnya, sempat ada keluhan dari petani tembakau karena penurunan harga komoditas tersebut. Akan tetapi, kondisi tersebut sudah berangsur pulih.
Selain petani, industri tembakau menyerap tenaga kerja di sektor sigaret kretek tangan (SKT) di Bojonegoro. Kabupaten yang terletak di Jawa Timur ini merupakan salah satu daerah penghasil tembakau yang cukup besar.
Bagi masyarakat setempat, industri SKT di Bojonegoro berperan penting secara ekonomi. Banyak warga yang menggantungkan kehidupan keluarga sebagai pekerja di SKT.
Sebagai salah satu industri padat karya, Anna berharap pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang melindungi tenaga kerja SKT dari pengurangan atau pemberhentian karyawan yang sudah terjadi di sektor lain.
“Tetapi di sektor SKT, belum ada kontraksi yang begitu. SKT di Bojonegoro masih normal seperti biasa dan belum begitu banyak kendala,” ujarnya.