PSBB DKI Jakarta Gerus Bisnis Ritel dan Restoran

Kamis, 24 September 2020 | 13:29 WIB
PSBB DKI Jakarta Gerus Bisnis Ritel dan Restoran
Ilustrasi restoran (Pixabay Free Photos)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta mempengaruhi kegiatan bisnis ritel dan restoran. Hal itu terlihat dari hasil monitoring Mandiri Institute.

Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan, dalam hasil monitoring tersebut, dampak kembalinya diberlakukan PSBB langsung terasa di sektor jasa makanan dan minuman.

Untuk diketahui, metode monitoring dilakukan dengan melihat tingkat kesibukan yang terdapat pada data Google Maps.

"Dengan mengambil sampel restoran yang sama, kami menemukan PSBB II menekan angka kunjungan ke restoran di DKI Jakarta hingga menjadi 19 persen dari angka kunjungan normal," ujar Andry dalam sebuah diskusi secara virtual, Kamis (24/9/2020).

Baca Juga: Restoran di Tangerang Tak Tutup Pukul 20.00 WIB akan Dicabut Izin Usahanya

Namun demikian, kunjungan ke restoran ke daerah sekitar Depok, Tangerang dan Tangerang Selatan dalam satu minggu setelah kembali pemberlakuan PSBB justru meningkat.

"Angka kunjungan ke restoran di Tangerang Selatan naik hingga mencapai 59 persen pasca PSBB II," ucap dia.

Dari sisi kunjungan ke pusat perbelanjaan, Andry melihat, kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan di DKI Jakarta justru paling tinggi diantara kota-kota lainnya yang sebesar 63 persen pada September ini.

Menurutnya, kenaikan angka kunjungan di DKI tampaknya dipengaruhi oleh rencana Pemda DKI untuk memberlakukan PSBB jilid II.

"Hal ini memicu masyarakat untuk mengunjungi shopping mall sebagai bentuk antisipasi," jelas dia.

Baca Juga: Bak Restoran, Pengantin Ini Minta Tamu Beri Hadiah Mahal demi Makan Enak

Andry menambahkan, dampak COVID-19 dan kebijakan PSBB juga sangat dirasakan oleh UMKM di Indonesia. Mandiri Institute malakukan survei terhadap 320 usaha UMKM di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Bali.

Dari survei tersebut ditemukan bahwa setelah PSBB ini, mayoritas dari UMKM atau sekitar 66 persen membatasi operasional usahanya, seperti mengurangi waktu operasi, membatasi kapasitas produksi, atau hanya menjalankan lini penjualan.

Sementara 28 persen dari UMKM telah menjalankan aktivitas bisnis secara normal, baik produksi dan penjualan.

Angka tersebut masih di bawah persentase usaha yang beroperasi normal ketika PSBB, yaitu sebesar 50 persen.

"Mayoritas usaha tercatat menyebutkan bahwa terbatasnya modal usaha (43 persen) dan kekhawatiran mengenai prospek usaha ke depan (24 persen) menjadi alasan utama membatasi aktivitas operasional UMKM," tukas dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI