Suara.com - Industri hasil tembakau (IHT) merupakan industri yang turut terpukul keras akibat Covid-19 sejak Maret 2020. Hal ini semakin menambah beban IHT setelah sebelumnya pemerintah menaikkan tarif cukai rokok secara signifikan pada awal 2020.
Kedua hal ini telah menurunkan daya beli masyarakat. Akibatnya, volume penjualan industri hasil tembakau pun anjlok hingga dua digit hingga paruh pertama tahun 2020.
Maka itu, pemerintah diharapkan memberikan dukungan berupa kebijakan yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem IHT, utamanya adalah segmen sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya.
Presiden Direktur PT HM Sampoerna Tbk, Mindaugas Trumpaitis mengatakan, sekitar 70 persen dari total pekerja IHT berada pada segmen SKT.
Baca Juga: Simplifikasi Jadi Opsi Ideal Penentuan Kebijakan Cukai Tembakau
Ia memberikan contoh bahwa dibutuhkan 2.700 pekerja linting untuk memproduksi 1 miliar batang rokok kretek tangan. Sementara itu, hanya dibutuhkan 21 orang saja untuk memproduksi 1 miliar batang rokok mesin.
“Untuk itu, kami berharap ada keberpihakan bagi segmen SKT dengan tidak menaikkan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) untuk 2021. Selain sebagai segmen padat karya, keberadaan pabrik SKT juga memiliki multiplier effect yang signifikan di bidang sosial dan ekonomi di wilayah lokasi pabrik,” kata Mindaugas ditulis Senin (21/9/2020).
Sampoerna, lanjut Mindaugas, juga telah berupaya melakukan sejumlah inisiatif agar segmen SKT mampu bertahan selama pandemi COVID-19, termasuk melalui strategi ekuitas portofolio SKT.
Hal ini bertujuan agar Sampoerna dapat tetap mempekerjakan sekitar 60.000 pekerjanya, baik langsung maupun tidak langsung.
Ia mengatakan, 50.000 orang di antaranya merupakan pekerja SKT Sampoerna yang bekerja di 4 pabrik SKT dan 38 Mitra Produksi Sigaret yang tersebar di 27 kota/kabupaten di Pulau Jawa.
Baca Juga: Tarif Cukai Industri Hasil Tembakau Naik, Pelaku Usaha Tercekik
Ia menambahkan, hal ini sekaligus bentuk upaya Sampoerna dalam mendukung tujuan pemerintah untuk mempertahankan lapangan pekerjaan bagi warganya di tengah situasi pandemi COVID-19.
Mindaugas memperkirakan, kinerja IHT akan anjlok sebesar 15 persen hingga akhir tahun 2020. Dampak ini pun masih akan dirasakan IHT pada tahun depan.
Maka dari itu, Mindaugas berharap pemerintah mendukung upaya pemulihan IHT melalui kenaikan cukai rokok mesin secara moderat sesuai dengan laju inflasi.
Mindaugas khawatir, kenaikan cukai rokok mesin yang terlalu tinggi justru akan memicu peningkatan rokok ilegal yang dapat mengancam penerimaan negara serta aspek kesehatan.
Mindaugas sempat menjelaskan bahwa situasi pandemi juga turut mengubah pola konsumsi konsumen. Saat ini, banyak konsumen yang beralih dari rokok golongan 1 dengan tarif cukai tertinggi ke golongan di bawahnya yang jauh lebih murah, atau dikenal dengan downtrading.
Ia berharap, pemerintah dapat mencegah hal ini dengan cara mengurangi selisih tarif cukai rokok mesin golongan 1 dengan golongan di bawahnya sehingga penerimaan negara lebih optimal.
"Dengan usulan ini, kami meyakini bahwa pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan perpajakannya dari produk-produk tembakau seraya membantu memulihkan dampak terhadap IHT termasuk petani tembakau dan cengkih," kata Mindaugas.