Suara.com - Saksi ahli konsultan, trainer perbankan, manajemen dan investasi, Kodrat Muis dihadirkan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung terkait dengan kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang di PT Asuransi Jiwasraya (Persero), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (7/9/2020) kemarin. Kodrat mengatakan jika dalam dunia asuransi tidak dikenal istilah ‘saving plan’, dan menjadi salah satu penyebab utama ambruknya perusahaan asuransi pelat merah itu.
JS Saving Plan yang menjadi produk andalan Jiwasraya, menurut Kodrat memiliki imbal hasil pasti. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan produk asuransi yang memadukan produk investasi, yakni unit link.
Menurut dia, hal ini sudah menyalahi Undang-undang Nomor 40/2014 tentang perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 27 Tahun 2018 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, pembaruan dari POJK Nomor 71 Tahun 2014.
"Sepengatahuan saya, saving plan itu produk perbankan. Kalau ada produk asuransi yang pendamping produk itu dikemas dalam bentuk saving, itu sudah menyalahi undang-undang, karena tidak diatur, yang diatur hanya dalam bentuk investasi [unit link]," kata Kodrat menjawab pertanyaan JPU.
Baca Juga: Komentari Kasus Jiwasraya, Said Didu: Dari Awal Saya Yakin Ada Perampokan
"Artinya Saving Plan bukan merupakan produk asuransi berdasarkan UU tersebut?" tanya JPU. Kodrat pun membenarkan pertanyaan JPU.
Saksi lain, Batara Maju Simatupang yang merupakan Dosen STIE Indonesia Banking School mengatakan, kesalahan lain dari Jiwasraya adalah dalam hal pembelian saham.
Menurutnya, dalam hal ini Jiwasraya melanggar ketentuan dalam pemilihan saham atau surat untang berjangka, lantaran perusahaan pelat merah tersebut seharusnya mencari minimun grade A.
“(Jiwasraya) ini milik pemerintah itu sudah jelas-jelas dinyatakan bahwa hanya diperbolehkan untuk placement minimum di A. Berarti kalau dibawah A ga boleh. Apalagi triple B atau double B,” kata Batara.
Sementara untuk diketahui, Pengumuman gagal bayar Saving Plan pada 12 Oktober 2018, dilakukan oleh Asmawi Syam yang kala itu bertindak sebagai Direktur Utama (Dirut) Jiwasraya.
Baca Juga: Arteria Dahlan Dukung Penuh Kejaksaan Tuntaskan Kasus Jiwasraya
Sebelumnya, anggota Komisi III Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan menyebut produk JS Saving Plan yang dikelola Jiwasraya, dinilai tidak wajar lantaran imbal hasil yang tinggi dan menawarkan imbal hasil pasti, sehingga banyak nasabah yang menempatkan investasinya di produk tersebut.
"JS Saving Plan, karakter produknya apa iya wajar? JS Saving Plan itu adalah produk yang orang lain gak bisa buat, hanya orang gila yang membuat JS Saving Plan. Pantesan dia laku. Lazim tidak secara finansial maupun legal, kok bisa hadir?" terang Arteria, dalam Rapat Dengar Pendapat PPATK dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, pekan lalu di DPR RI.
Munculnya kasus gagal bayar Jiwasraya ini membuka jalan adanya kasus kriminal kerah putih yang membuat negara ditaksir kerugian sampai Rp 18 triliun dengan nasabah gabungan produk tradisional dan JS Saving Plan berjumlah hingga 5,5 juta nasabah.
Pihak Kejaksaan Agung pun telah menetapkan enam tersangka yang kini tengah menjalani sidang di pengadilan Tipikor dan TPPU di PN Jakarta.
Mereka adalah Dirut PT Hanson International Benny Tjokro, ‘Pak Haji’ nama samaran Heru Hidayat Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto ‘Panda’, Dirut PT Asuransi Jiwasraya 2008 - 2018 Hendrisman Rahim ‘Chief’, Direktur Keuangan Jiwasraya Januari 2008 - 2018 Hary Prasetyo ‘Rudy’ dan mantan Kediv Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan alias Mahmud.
Selain itu Kejaksaan Agung telah menetapkan 13 manajer investasi dalam kasus gagal bayar PT Jiwasraya sebagai tersangka.
Tak hanya itu, Kejaksaan Agung punakan menelusuri dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan oleh para terdakwa, salah satunya adalah sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan yang diketahui milik Hendrisman dan Hary Prasetyo, termasuk aliran gratifikasi.
Atas perbuatannya, keenam terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP.