Utang Pemerintahan Jokowi 300 Persen Lebih Banyak Dibanding Zaman SBY

Rabu, 02 September 2020 | 19:22 WIB
Utang Pemerintahan Jokowi 300 Persen Lebih Banyak Dibanding Zaman SBY
Ilustrasi Surat Utang Negara [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ekonom senior Indef Didik J Rachbini menyoroti jumlah utang di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ditaksir meningkat lebih tinggi dibandingkan rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Didik menilai penerbitan surat utang era Jokowi sudah terlampau tinggi, apalagi di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.

"Jumlah penerbitan utang zaman presiden Jokowi tiga kali lipat. Utang tersebut 300 persen dari anggaran total SBY," kata Didik dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (2/9/2020).

Melihat situasi ini, Didik menambahkan akan menjadi beban selanjutnya bagi presiden yang akan terpilih nantinya, mengingat era ini merupakan periode terakhir Jokowi menjadi orang nomer satu di Indonesia.

Baca Juga: Soeharto Bapak Utang Luar Negeri, Penerusnya Cuma Lanjutkan Tambah Utang

"(Presiden selanjutnya) harus siap-siap menerima tumpukan utang yang dibikin pada saat ini Jadi utangnya ini besar," katanya.

Utang Indonesia per Juli 2020 menyentuh angka Rp 5.434,86 triliun setelah pada Desember 2019 tercatat Rp 4.779,28 triliun. Itu artinya, dalam tujuh bulan terakhir, utang bertambah Rp655,58 triliun.

Penambahan utang yang segunung ini untuk memberi ruang bagi belanja negara. Belum lagi pagebluk corona yang melanda membuat pemerintah mencari pendanaan lain akibat minimnya setoran pajak.

Selain utang di APBN, dirinya juga menyoroti makin membengkaknya utang BUMN yang ditaksir sudah mencapai Rp 7.248 triliun, belum lagi utang yang dimiliki swasta.

"Ada juga utang di luar APBN yaitu utang BUMN, utangnya itu sekarang bertambah Rp 7.248 triliun. Utang publik ya utangnya pemerintah daerah, utangnya pemerintah pusat, utangnya BUMN," katanya.

Baca Juga: Dari Soeharto sampai Jokowi, Siapa Bapak Utang Luar Negeri Sesungguhnya?

"Dalam kategori sistem moneter internasional, itu dianggap sebagai utang. Bila ditambah dengan utang Bank BUMN, itu menjadi lebih dari Rp 10.000 triliun. Kalau itu gagal bayar, yang membayar adalah APBN," pungkasnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI