Suara.com - Ekonom senior Chatib Basri mengatakan bahwa ketersediaan vaksin akan mempengaruhi cepatnya pemulihan ekonomi Indonesia yang melambat akibat dampak pandemi Covid-19.
Chatib menyatakan hal tersebut seiring dengan kewajiban penerapan protokol kesehatan yang membuat aktivitas perekonomian masyarakat yang tidak bisa beroperasi sepenuhnya.
“Sebelum vaksin selesai, protokol kesehatan harus tetap dijalankan. Artinya ekonomi harus beroperasi di bawah 100 persen. Dengan kondisi ini maka pemulihan akan berbentuk U bukan V,” katanya melalui akun twitter pribadinya @ChatibBasri, Senin (31/8/2020).
Tak hanya itu, lanjut Chatib, ketika vaksin telah tersedia juga masih membutuhkan waktu untuk mendistribusikan kepada masyarakat sehingga pemulihan ekonomi belum bisa terjadi secara cepat.
Baca Juga: Belajar Online di Kampung Internet
“Coba buat hitungan sederhana misalnya vaksin tersedia Januari 2021 maka berapa orang yang harus mendapat vaksin lebih dahulu,” ujarnya.
Ia mencontohkan, vaksin tersedia pada Januari 2021 dan harus didistribusikan kepada orang-orang yang prioritas seperti lanjut usia atau lansia berjumlah 25 juta orang dalam setahun. Itu artinya terdapat 68 ribu orang tua yang harus diberikan vaksin dalam satu hari selama setahun dengan 365 hari, sementara vaksin harus diberikan dua kali kepada satu orang.
“Jika ada 25 juta (orang) dan setahun 365 hari maka setiap hari harus ada 68 ribu orang di vaksin selama setahun. Mampu kah kita memberi vaksin 68 ribu orang per hari? Saya tidak tahu,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, menurutnya pemerintah dapat memberikan ekspansi terhadap insentif yang telah ada sembari menunggu ketersediaan dan pendistribusian vaksin agar ekonomi tidak semakin melemah.
“Tak ada insentif untuk ekspansi dan meningkatkan investasi. Ekonomi akan stuck atau pemulihan lambat,” tuturnya.
Baca Juga: Enggak Mau Kalah, Pesawat-pesawat Maskapai Ini Juga Pakai 'Masker' Lho!
Terlebih lagi, Chatib memperkirakan perekonomian nasional pada kuartal III tahun ini masih akan tertekan seiring aktivitas masyarakat yang cenderung kembali melambat pada Juni hingga Agustus.
“Jika ekonomi hanya beroperasi 50 persen maka untuk banyak sektor break even point tak tercapai,” ujarnya. [Antara]