Suara.com - Komisi XI DPR RI meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lebih memburu piutang pajak negara ketimbang menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN), agar beban utang tak semakin menumpuk.
Hal tersebut diutarakan anggota Komisi XI DPR RI Dolfie OFP saat rapat kerja bersama, di ruang Komisi XI DPR RI, Rabu (26/8/2020).
"Jadi kapan itu (piutang pajak) bisa ditagih bu, dibayarkan? Itu bisa tambah penerimaan, ketimbang menerbitkan SBN," kata Dolfie.
Fraksi PDIP ini pun meminta kepada mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut untuk menghitung ulang piutang pajak yang belum terbayarkan kepada negara tersebut, berapa jumlahnya sehingga dapat menambah pemasukan kas negara.
Baca Juga: Sri Mulyani Pastikan Indonesia Resesi Jika Kuartal III Negatif
"Tahun ini dan 2021 berapa piutang yang bisa ditagih?," tanya Dolfie.
Atas pertanyaan tersebut, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah tak tinggal diam dengan piutang pajak yang belum lunas tersebut, makanya kata dia, sejak bulan Juli tahun ini pemerintah sudah mulai menerapkan Revenue Accounting System (RAS) yang gunanya melihat siapa saja yang memiliki piutang pajak kepada negara.
"Kami berharap RAS ini akan betul-betul meng-address isu pajak," katanya.
Sri Mulyani mengakui memang selama ini selalu memperoleh temuan mengenai kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dari setiap laporan keuangan yang disampaikan BPK selalu menjadi temuan dan pertanyaan yang selalu disampaikan.
Baca Juga: Supaya Terhindar dari Resesi, Sri Mulyani Keluarkan Tiga Juru Selamat
"Memang selama saya menjadi Menteri Keuangan berkali-kali BPK menyampaikan pertanyaan dan temuan mengenai hal ini," ucapnya.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPP 2019, BPK kembali menyoroti saldo piutang perpajakan bruto pada neraca pemerintah pusat tahun anggaran 2019 (audited) yang mencapai Rp 94,69 triliun. Piutang itu naik 16,22 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya Rp 81,47 triliun.