"Karena bisnis jasa keuangan sangat terkait dengan dana masyarakat, maka peraturan hukum di suatu negara akan berlaku. Dan ternyata keenam prinsip asuransi itu belum semuanya ada dalam hukum positif di Indonesia," kata dia.
Referensi yang dipakai selama ini banyak menggunakan KUHD. Dan setiap ada kasus di pengadilan, referensi hakim juga bisa bermacam-macam tergantung saksi dan pembuktian.
"Berbeda dengan Inggris yang memakai yurisprudensi. Karena praktik asuransi (insurance common practices) tidak terakomodir di hukum positif, maka setiap kasus akan dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku dan kadang kala kurang pas," ujar Dody.
Faktanya kemudian penegak hukum mengganggap dan memutuskan kesalahan ada di perusahaan asuransi. Dan kemudian salah satu kasus hukum adalah amar keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Pontianak ini.
Baca Juga: Apakah Asuransi Mobil Mengganti Kaca Pecah Akibat Tindak Kejahatan?
Hukum Positif
Terkait dengan kondisi tersebut di atas, Dody menilai sudah waktunya hukum di Indonesia untuk memasukkan insurance common practices (termasuk prinsip-prinsip asuransi) ke dalam hukum positif.
"Bisa dengan merevisi UU 40/2014 tentang Perasuransian, atau membuat UU tersendiri yang khusus untuk Industri jasa keuangan termasuk asuransi," kata dia.
Pembahasan di DPR pun juga akan mulai memperbaiki KUHD maupun KUHP/Per yang merupakan peninggalan zaman Belanda.
Dody menyebutkan AAUI sempat membahas tentang hal ini, dan juga mendiskusikan dengan OJK.
Baca Juga: Cegah Kebocoran Data, OJK Bakal Atur Penggunaan Teknologi pada Asuransi
"Sepanjang akan membuat Industri asuransi bisa memiliki landasan legal yang pasti maka harus ada dukungan," ujarnya optimis.