Ekonom: Waspada Simplifikasi Tarif Cukai Bisa Timbulkan Rokok Ilegal

Kamis, 23 Juli 2020 | 10:00 WIB
Ekonom: Waspada Simplifikasi Tarif Cukai Bisa Timbulkan Rokok Ilegal
Tembakau merupakan bahan utama rokok [Shutterstock].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah salah satu industri yang berperan cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Kendati demikian, peredarannya termasuk yang dikontrol mengingat adanya risiko mungkin muncul jika dikonsumsi secara berlebihan.

Terlepas dari hal itu, industri ini memiliki rantai bisnis yang sangat luas sehingga mampu menciptakan nilai tambah di setiap lapisan operasionalnya. Salah satunya menciptakan lapangan kerja.

Namun, kebijakan pemerintah terhadap IHT dinilai menjadi kian eksesif bagi pelaku usaha. Salah satu kebijakan yang kembali menimbulkan keresahan banyak pengusaha rokok adalah terbitnya Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang di dalamnya terdapat penyederhanaan layer tarif cukai.

Petani tembakau di Selo Boyolali menjaga kualitas tanaman dengan menjemur hasil panen di Klaten, Jawa Tengah. [Suara.com/Ari Purnomo]
Petani tembakau di Selo Boyolali menjaga kualitas tanaman dengan menjemur hasil panen di Klaten, Jawa Tengah. [Suara.com/Ari Purnomo]

Kebijakan ini dinilai bisa berdampak pada tutupnya pabrik rokok khususnya pabrikan kecil dan menengah dan penyerapan komoditas tembakau dan cengkeh menjadi terancam.

Baca Juga: Pandemi, Ini Solusi untuk Kesejahteraan Petani Tembakau

Padahal, selama pandemi COVID-19 banyak pelaku IHT sudah mulai merasakan dampak ekonomi yang cukup signifikan, khususnya pasca penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.

Menyikapi hal ini, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan bahwa dari sektor hulu atau kesiapan bahan baku pada dasarnya produksi masih berjalan. Hanya, ia mengakui bahwa selama PSBB berlangsung ada pembatasan yang berdampak pada penyerapan ke pabrikan.

"Meski saat ini produksi masih berjalan, namun semasa PSBB berlangsung, pasokan ke industri pasti terganggu," ujarnya dalam keterangannya, Kamis (23/7/2020).

Hendratmojo Bagus Hudoro melanjutkan, pihaknya telah mendengar ada rencana pembahasan kembali penyederhanaan tarif cukai yang masuk ke dalam Rencana  Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.

Tanaman tembakau. [Pixabay]
Tanaman tembakau. [Pixabay]

"Saya rasa kebijakan ini sudah dipertimbangkan oleh Kementerian Keuangan, dan pengaruhnya pada aspek hulu tidak banyak berpengaruh. Akan tetapi, jika bicara soal bagaimana penyerapan dan harga produk ke depan tentu berbeda lagi," jelasnya.

Baca Juga: Rencana Penyederhanaan Cukai Diyakini Mengancam Keberlangsungan IHT

Belum lama ini, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengumumkan akan menerapkan kembali penyederhanaan layer. Kebijakan penyederhanaan tarif cukai ditujukan untuk mengurangi lapisan tarif cukai dari 10 layer ke 5 layer di 2021.

Kebijakan ini pernah diberlakukan sebelumnya, namun dihapuskan dengan diberlakukannya PMK No. 156 Tahun 2018. Pasalnya, diskusi berbagai pihak menyepakati bahwa penyederhanaan tarif cukai yang sebelumya juga dibarengi penggabungan volume produksi SKM dan SPM ini hanya akan membuat industri kecil serta menengah tidak memiliki daya saing. Hingga hanya industri yang besar serta berada di golongan satu (1) sajalah yang dapat bertahan dan berkembang.

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menyatakan, saat ini pemerintah tidak memiliki posisi jelas untuk menentukan masa depan sektor IHT. Menurutnya, perlu ada kejelasan aturan, industri ini mau diapakan. Apakah akan dilarang total, atau bagaimana. Tidak bisa latah mengikuti kebijakan negara lain karena sektor ini unik.

"Selama pandemi, sumbangan IHT adalah satu-satunya yang masih stabil, sehingga harus ada roadmap aturan yang jelas dan mampu mengakomodasi semua sektor dari hulu-hilirnya seperti komoditas tanamannya, petaninya mau dikemanakan, pabrikan, buruh, sampai perdagangannya harus dipikirkan akan seperti apa ke depan," jelas Enny Sri Hartati.

Terkait penyederhanaan layer dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM, Enny Sri Hartati menekankan produk tembakau di Indonesia ini unik karena adanya komoditas kretek yang menjadi ciri khas produk Indonesia.

"Nah, yang menarik adalah rencana penggabungan SKM dan SPM ini. Karena masing-masing generiknya saja sudah berbeda, yang satu kretek, yang lainnya rokok putih, kalau klasifikasinya sudah beda, bagaimana mau disamakan," imbuhnya.

Adanya aturan yang seakan terburu-buru dipandang Enny Sri Hartati semakin  menimbulkan ketidakpastian dan mengancam IHT.

"Jika semakin eksesif dan dipaksakan, kelompok usaha yang di struktur dua akan kolaps karena kalah bersaing, dan yang harus diwaspadai kalau produk dari golongannya hilang di pasaran, justru rokok ilegal bisa makin naik. Sudah enggak optimal pendapatannya, enggak mencapai target juga di sisi kesehatan," tutup Enny Sri Hartati.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI