ATVSI Minta Kemendikbud Berpihak ke Industri Penyiaran Tanah Air

Iwan Supriyatna Suara.Com
Rabu, 15 Juli 2020 | 10:29 WIB
ATVSI Minta Kemendikbud Berpihak ke Industri Penyiaran Tanah Air
Ilustrasi televisi [shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mendesak Kemendikbud mengkaji ulang keputusan memilih konten asing untuk materi dokumenter bagi pendidikan.

ATVSI merupakan asosiasi yang beranggotakan 10 lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi yang bersiaran secara nasional yaitu, RCTI, SCTV, Indosiar, MNC TV, ANTV, Metro TV, Trans TV, Trans & dan TVOne dan GTV. Saat ini, siaran televisi anggota ATVSI sudah menjangkau 100% dari seluruh wilayah Indonesia.

Melalui surat yang ditujukan ke Mendikbud Nadiem Makarim tertanggal 20 Juni 2020 yang ditandatangani Ketua Umum ATVSI Syafril Nasution dan Sekjen ATVSI Gilang Iskandar tersebut, ATVSI menyatakan keprihatinan yang mendalam atas keputusan Kemendikbud tersebut. Keprihatinan itu disebabkan oleh empat hal.

Pertama, pada prinsipnya ATVSI mendukung sepenuhnya penyelenggaraan program Kemendikbud "Belajar Dari Rumah" yang ditayangkan melalui LPP TVRI, khususnya di masa pandemi Covid-19 ini, dalam rangka membantu masyarakat Indonesia yang memiliki keterbatasan atas akses internet untuk dapat menikmati tayangan berkualitas yang mendidik dan menghibur.

Baca Juga: Pegawai Positif Corona, Kemendikbud Terapkan Jadwal Piket Masuk Kantor

Namun, dalam penyelenggaraan program tersebut, Kemendikbud memutuskan untuk menayangkan program dokumenter yang berasal dari asing, seperti antara lain: Out Planet, Street Food Asia, Tidying Up with Marie Kondo, Spelling the Dream, Chasing Coral dan Night on Earth.

"Kami sangat yakin bahwa Indonesia memiliki sumber daya dan kemampuan untuk menghasilkan berbagai tayangan berkualitas yang mendidik dan menghibur dan sekaligus memuat kearifan lokal dan mencerminkan budaya Indonesia," tulis surat ATVSI.

Sesuai dengan program Presiden Joko Widodo "Bangga Buatan Indonesia", seyogyanya menjadi prioritas bagi Kemendikbud untuk mengupayakan agar industri kreatif dalam negeri mendapat dukungan untuk berkembang daripada sekedar menggunakan lisensi konten yang diproduksi di luar negeri.

Berbagai konten edukasi produksi anak bangsa seperti _Jendela, Kiko, Si Entong, Si Bolang, Jelajah, Jejak Petualang, Mata Angin, Si Kecil Tangguh, Laptop si Unyil, Jejak Anak Negeri, Indonesiaku dan lainnya yang dimiliki oleh LPS anggota ATVSI, terbukti mampu menjadi tayangan yang mendidik dan diminati anak-anak Indonesia selama ini karena mencerminkan budaya dan norma ke Indonesiaan.

"Dalam konteks ini, apakah anak Indonesia perlu belajar untuk merapikan rumahnya mengikuti cara seorang Marie Kondo di Jepang dan apakah Spelling Bahasa Inggris merupakan hal yang terpenting yang harus diutamakan pada saat ini?" tulus surat ATVSI tersebut.

Baca Juga: Tak Diblokir Lagi, Langganan Netflix Bisa Dibayar Pakai Pulsa Telkomsel?

Kedua, meskipun konten yang disiarkan oleh LPP TVRI merupakan konten dokumenter yang diharapkan cukup aman untuk ditonton semua usia, namun penayangan konten asing yang disediakan oleh Netflix di LPP TVRI merupakan suatu endorsement dan promosi gratis atas Netflix di aset negara Republik Indonesia, sehingga anak-anak Indonesia pada umumnya akan lebih mengenal layanan Netflix dan mencoba menonton layanan yang disediakan Netflix.

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia belum memiliki regulasi yang definitif dalam mengatur penyiaran yang disebut over the top (OTT), seperti yang dilakukan Netflix, HBO Go, YouTube dan lainnya.

Akibatnya, OTT dengan leluasa menayangkan berbagai kontennya di wilayah Indonesia tanpa adanya regulasi yang memastikan bahwa konten-konten yang ditayangkan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti Undang-Undang No. 32/ Tahun 2020 tentang Penyiaran, Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang No.33 Yahun 2009 tentang Perfilman dan Undang-Undang No.19 tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik.

"Dampak dari itu, masyarakat Indonesia dapat secara bebas mengakses konten-konten yang penuh dengan unsur pornografi dan kekerasan melalui media OTT," tulis ATVSI dalam surat tersebut.

Ketiga, di samping permasalahan konten, mekanisme pemungutan pajak atas pendapatan yang diperoleh penyelenggara OTT asing di Indonesia sampai saat ini belum final, sedangkan peraturan perpajakan diberlakukan secara ketat kepada industri kreatif dan media yang didirikan di Indonesia.

Keempat, ATVSI berharap terciptanya keberpihakan Kemendikbud kepada industri kreatif dan media penyiaran televisi yang dimiliki anak bangsa, yang selama ini selalu mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penyumbang pajak yang taat.

"Hal ini kami sampaikan agar menjadi pertimbangan Bapak Menteri untuk mengkaji ulang tayangan konten asing yang disediakan oleh Netflix tersebut. Kami sangat menyambut baik apabila Bapak Menteri berkenan melakukan dialog dan komunikasi dalam rangka mengikutsertakan ATVSI dalam mensukseskan program Belajar dari Rumah." tulis ATVSI.

Tidak hanya ATVSI, sebelumnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga menyayangkan langkah Kemendikbud menggandeng Netflix dalam penyediaan konten bagi program siaran BDRD yang disiarkan oleh TVRI.

Kemendikbud diminta kembali membahas persoalan tersebut bersama KPI dan Lembaga Sensor Film (LSF) terkait dampak negatif ketika siswa mengakses film disiarkan Netflix di layar kaca TVRI.

"Kemendikbud perlu duduk bersama dengan LSF dan KPI untuk merumuskan pengaturan dan pengawasan film yang dapat diakses melalui VOD streaming," ujar Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano Pariela dalam pernyataannya belum lama ini.

Seperti diketahui, pada tahun ajaran baru ini, Kemendikbud akan menghadirkan film dokumenter Netflix yang ditayangkan melalui program Belajar Dari Rumah (BDR) melalui TVRI mulai 20 Juni 2020.

Film dokumenter itu akan tayang perdana setiap Sabtu pukul 21.30 WIB dan tayang ulang setiap Minggu dan Rabu pada pukul 09.00 WIB.

"Program BDR di TVRI ditujukan untuk membantu peserta didik, orang tua, dan guru yang memiliki keterbatasan akses internet, baik karena kendala ekonomi maupun geografis," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

BDR merupakan program yang diluncurkan 12 April 2020 dan merupakan alternatif belajar di tengah pandemi virus corona.

Upaya itu dilakukan Kemendikbud untuk memastikan agar dalam masa yang sulit ini masyarakat terus mendapatkan kesempatan untuk melakukan pembelajaran dari rumah, salah satunya melalui media televisi dengan jangkauan terluas di Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI