"Memang harga rokoknya tidak semua murah. Misalnya satu perusahaan memiliki enam brand, satu brand dijual murah. Walaupun itu hanya satu brand, itu sangat mempengaruhi. Perusahaan kecil jadi enggak berkutik karena kita sendiri enggak mungkin bisa menjual produk semurah itu," katanya.
Dia mengatakan bahwa perusahaan kecil pasti babak belur jika harus mensubsidi produknya agar dapat dijual dengan harga yang bersaing dengan produk pabrikan besar.
“Secara pemodalan di lapangan saja kita pasti kalah dengan pemain besar ini,” katanya lagi.
"Dari dulu kita sudah protes kepada Bea Cukai dan meminta agar kebijakan tersebut direvisi," katanya.
Baca Juga: Tak Punya Rokok, Kernet Truk di Probolinggo Bobol Rumah Warga
Sebelumnya, Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) Abdillah Ahsan menjelaskan bahwa salah satu penyebab tingginya konsumsi rokok saat ini adalah harga rokok yang masih terjangkau karena dijual dengan harga di bawah banderol.
Artinya implementasi Perdirjen 37/2017 justru menghalangi upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi tembakau pada masyarakat.
"Jadi demi pertimbangan kesehatan masyarakat sebaiknya aturan menjual rokok di bawah harga banderol ini dihapuskan. Kita simpel aja, kesehatan terbaik adalah kesehatan anak-anak. Sederhananya harga rokok di pasaran harus sama dengan harga banderol," terang Abdillah.
Selain itu, dia mengatakan bahwa penjualan rokok di bawah harga banderol di pasaran juga akan mengurangi efektivitas kebijakan cukai yang selama ini ditetapkan pemerintah dengan cara menaikkan tarif cukai.
Kenaikan tarif cukai bertujuan untuk mengendalikan atau mengurangi prevalensi merokok pada masyarakat.
Baca Juga: Afrika Selatan Larang Penjualan Tembakau, Penyeludupan Rokok makin Marak