Dalam 10 Tahun, Diduga Terjadi Inefisiensi Pengadaan Batu Bara PLN Rp 100 T

Senin, 29 Juni 2020 | 20:48 WIB
Dalam 10 Tahun, Diduga Terjadi Inefisiensi Pengadaan Batu Bara PLN Rp 100 T
Ilustrasi batu bara dari tambang. (shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan adanya potensi kerugian negara dalam pengadaan batu bara bagi pembangkit PLN yang berlangsung dalam 10 tahun terakhir, yakni selama periode 2009 sampai 2019.

Dalam kurun waktu tersebut, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN rata-rata atau nilainya lebih mahal dibandingkan harga impor (CIF) China untuk batu bara jenis lignit dari Indonesia.

"Di mana secara rata-rata sepuluh tahun terakhir, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN lebih mahal Rp 225 ribu per ton," kata penulis kajian ini dan mantan peneliti senior ICW Firdaus Ilyas dalam keterangan tertulis, Senin (29/6/2020).

Untuk diketahui, kajian yang dilakukan ICW tersebut menelaah setidaknya dari dua hal. Pertama, dengan melihat selisih biaya pengadaan yang disebabkan oleh rantai pasok dan proses pengadaan yang tidak efisien. Kedua, melihat dari beban penggunaan dibandingkan dengan beban komponen bahan bakar di pembangkit batu bara yang dioperasikan oleh anak perusahaan PLN.

Baca Juga: Komisi VI Usul Rapat Gabungan Bahas Stabilisasi Keuangan PLN

Kajian yang diluncurkan pada Senin (29/6/2020) menemukan indikasi jika PLN selama ini telah membeli batu bara lebih mahal daripada harga batu bara Indonesia yang dibeli oleh pihak Cina dan India.

Kajian ini menemukan, apabila dikaitkan dengan realisasi volume pemakaian batu bara pada pembangkit listrik milik PLN selama periode 2009 sampai 2019 sebesar 473.602.354 ton, maka secara agregat selisih harga pengadaan batubaranya melampaui Rp 100 triliun selama satu dekade terakhir.

“Kajian ini menelaah dari sisi biaya, di mana beban penggunaan dibandingkan dengan harga pembelian dan yang akan kita lihat disini adalah berapa selisihnya dan siapa yang menanggungnya,” ujarnya.

Di kesempatan yang sama, peneliti energy finance dari lembaga kajian internasional International Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi meminta, PLN membuka data kepada audit kinerja sistem pembangkitan.

Dia mengemukakan, pembukaan data itu penting agar bisa dengan jelas mengidentifikasi di mana kebocoran terjadi dalam rantai nilai pembangkitan listrik Indonesia, terutama yang menggunakan komoditas energi yang juga menjadi komoditas ekspor yaitu batu bara.

Baca Juga: DPR Minta PLN Implementasikan Efisiensi Perusahaan

“Kalau memang batu bara yang dibeli PLN lebih mahal dengan harga volatile dan naik turun, kenapa harus dipakai terus. Dan kenapa pasokannya harus terus ditambah dengan mendorong pembangunan tambang batu bara terus menerus? Kenapa pembangkit batu bara terus dibangun?” ujarnya.

Padahal, lanjut dia, dari sisi kontrak pembelian listrik dari pembangkit batu bara, PLN dirugikan dengan sistem kontrak take or pay, sehingga listrik yang tidak dipakai pun harus dibayar. Pun itu berdampak pada tagihan listrik masyarakat.

Potensi kerugian negara juga ditemukan pada pengadaan batu bara di PLTU Suralaya. Hal ini ditemukan dengan membandingkan pengadaan batu bara di PLTU Suralaya yang dikelola oleh PT Indonesia Power (IP) dan PLTU Paiton yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).

Menurut Firdaus, berdasarkan kalori batu bara yang digunakan serta tingkat efisiensi penggunaan batu bara, seharusnya komponen biaya untuk bahan bakar yang dikeluarkan PLTU Suralaya lebih rendah dibandingkan PLTU Paiton.

Kenyataannya, terindikasi ada selisih beban komponen batubara pada PLTU Suralaya sebesar Rp 11,159 triliun selama periode 2009 - 2018. Atau rerata tiap tahun nilai indikasi inefisiensinya sebesar Rp 1,240 triliun. Angka ini bisa disimpulkan sebagai indikasi inefisiensi pada pembangkit PLTU Suralaya yang dikelola oleh PT Indonesia Power.

“Hal ini bisa mempengaruhi beban aktual dan akan tercermin dalam tagihan listrik kita, dalam harga per KwH yang kita gunakan di rumah,” ujarnya.

Dia menambahkan, inefisiensi ini harus diselidiki lebih lanjut, apa yang penyebabnya. Apakah kesalahan dalam strategi pengadaan, apakah rantai pasok yang terlalu panjang yang terpapar banyak pencari rente?

"Ada indikasi bahwa ini dapat dianggap sebagai kerugian negara,” Kata Firdaus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI