Padahal, lanjut dia, dari sisi kontrak pembelian listrik dari pembangkit batu bara, PLN dirugikan dengan sistem kontrak take or pay, sehingga listrik yang tidak dipakai pun harus dibayar. Pun itu berdampak pada tagihan listrik masyarakat.
Potensi kerugian negara juga ditemukan pada pengadaan batu bara di PLTU Suralaya. Hal ini ditemukan dengan membandingkan pengadaan batu bara di PLTU Suralaya yang dikelola oleh PT Indonesia Power (IP) dan PLTU Paiton yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).
Menurut Firdaus, berdasarkan kalori batu bara yang digunakan serta tingkat efisiensi penggunaan batu bara, seharusnya komponen biaya untuk bahan bakar yang dikeluarkan PLTU Suralaya lebih rendah dibandingkan PLTU Paiton.
Kenyataannya, terindikasi ada selisih beban komponen batubara pada PLTU Suralaya sebesar Rp 11,159 triliun selama periode 2009 - 2018. Atau rerata tiap tahun nilai indikasi inefisiensinya sebesar Rp 1,240 triliun. Angka ini bisa disimpulkan sebagai indikasi inefisiensi pada pembangkit PLTU Suralaya yang dikelola oleh PT Indonesia Power.
“Hal ini bisa mempengaruhi beban aktual dan akan tercermin dalam tagihan listrik kita, dalam harga per KwH yang kita gunakan di rumah,” ujarnya.
Dia menambahkan, inefisiensi ini harus diselidiki lebih lanjut, apa yang penyebabnya. Apakah kesalahan dalam strategi pengadaan, apakah rantai pasok yang terlalu panjang yang terpapar banyak pencari rente?
"Ada indikasi bahwa ini dapat dianggap sebagai kerugian negara,” Kata Firdaus.