Rasio Kredit Macet Naik, OJK Minta Semua Pihak Tak Panik

Senin, 22 Juni 2020 | 14:42 WIB
Rasio Kredit Macet Naik, OJK Minta Semua Pihak Tak Panik
Kantor Pusat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia terbukti membawa dampak besar terhadap dunia usaha seiring dengan kebijakan lockdown yang diambil oleh sejumlah negara.

Meski begitu Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana menatap optimisme sektor perbankan dalam menghadapi pandemi.

Heru menuturkan, kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) memang naik saat pandemi namun dari segi recovery rate masih cukup aman.

"Dalam pantauan kami memang secara NPL (Non Performing Loan/raso kredit bermasalah) sudah mulai ada sedikit kenaikan, yaitu dari 2,77 persen pada bulan sebelumnya menjadi 2,89 persen pada posisi saat ini. Namun dari segi recovery rate (kemampuan pemulihan) masih sangat aman, yaitu mencapai 212,05 persen,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (22/6/2020).

Baca Juga: Ekonom Senior Indef Kritik Kinerja OJK soal Pengawasan Jiwasraya

Dengan angka recovery rate perbankan nasional yang demikian sehat, Heru mengajak semua pihak untuk tidak panik dalam menghadapi pandemi COVID19 ke depan.

Meski juga kewaspadaan memang tetap harus dijaga agar tidak sampai lengah ketika terjadi sesuatu yang perlu penanganan lebih lanjut.

“Dalam hal ini pemerintah melalui OJK telah menyiapkan berbagai langkah yang bisa ditempuh sesuai dengan perkembangan yang nantinya terjadi di pasar. Paket relaksasi tahap pertama telah dijalankan lewat POK Nomor 11. Bila memang diperlukan, paket-paket (relaksasi) lanjutan juga sudah siap (dijalankan),” tutur Heru.

Sejauh ini, menurut Heru, pihaknya telah menyediakan berbagai opsi restrukturisasi kredit yang bisa dijalankan oleh perbankan terhadap nasabah kreditnya yang sedang bermasalah.

Beberapa opsi tersebut diantaranya pengembalian posisi bunga ke pokok, penyesuaian jangka waktu kredit, penambahan fasilitas hingga konversi nilai kredit ke penyertaan modal sementara.

Baca Juga: Kookmin Bank Disebut Gagal Atasi Likuiditas Bukopin, OJK Beri Klarifikasi

“Semua opsi itu kami serahkan sepenuhnya ke masing-masing banknya. Ke masing-masing lembaga pembiayaannya, agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik nasabah kreditnya masing-masing,” papar Heru.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, menyatakan bahwa persoalan likuiditas menjadi hal krusial yang harus benar-benar dijaga guna menyelamatkan industri perbankan dan bahkan perekonomian nasional.

Sebagai sesama pelaku usaha, Jahja juga mengajak seluruh bank yang ada di Indonesia untuk lebih mengutamakan likuiditas dibanding profitabilitas perusahaan untuk kondisi saat ini.

“Kita bisa banyak belajar dari krisis yang terjadi saat 1998 dulu, di mana perekonomian babak-belur gara-gara likuiditas yang tidak tersedia di pasar. Saya ingat betul, sekitar setahun sebelumnya, hampir kita semua sangat yakin bahwa gelombang krisis tidak akan sampai ke Indonesia karena nilai tukar kita saat itu sangat kuat. Dollar di kisaran Rp 2.000an. Tapi ketika melonjak drastis hingga Rp 15.000an per dolar, otomatis likuiditas kita terkuras,” ujar Jahja.

Dikisahkannya, periode awal krisis masuk Indonesia diawali dengan ditutupnya 16 bank-bank kecil. Karena saat itu belum ada sistem penjaminan yang saat ini diperankan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maka sontak penutupan bank sebanyak itu membuat masyarakat panik.

Penarikan uang secara besar-besaran terjadi, sehingga makin membuat likuiditas yang tersedia menjadi sangat terbatas.

“Karena itu, dengan pengalaman yang ada, kita harus satukan semangat untuk menjaga likuiditas. Soal profitabilitas nanti dulu saja. Kita selamatkan dulu angsanya, untuk nantinya ketika sudah aman, telurnya bisa kita bagi dan nikmati bersama-sama,” tandas Jahja.

Ajakan Jahja untuk perbankan lebih mengedepankan likuiditas dan mengesampingkan dulu pertimbangan profitabilitas disambut baik oleh kalangan pengusaha.

Dengan adanya komitmen dari perbankan tersebut, para pengusaha berharap memiliki ruang lebih untuk berimprovisasi dan berinovasi untuk dapat bertahan di tengah tekanan pandemi COVID19.

Termasuk juga opsi memanfaatkan fasilitas restrukturisasi kredit bagi para pengusaha yang posisi cashflownya tengah bermasalah seiring dengan lesunya aktivitas bisnis yang digelutinya.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaya Kamdani menuturkan, komitmen untuk saling membantu tersebut, menurut Shinta, kini juga tengah dipegang teguh oleh APINDO, terutama untuk mendorong kalangan pengusaha kecil dan menengah untuk dapat bertahan di tengah keterbatasan modal dan kekuatan yang dimilikinya.

Misalnya saja dalam hal ketersediaan pasokan bahan baku, kondisi pasar yang sedang lesu, hingga penguasaan teknologi yang masih sangat terbatas di kalangan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

“Mungkin ajakan untuk going digital itu mudah bagi para pengusaha besar, tapi bagi mereka yang (usahanya) kecil-kecil ini, jangan dianggap itu hal yang mudah. Jadi jangan juga asal memberi tips atau seruan tanpa melihat siapa yang sedang kita hadapi. Selain stimulus yang sudah disediakan, untuk UMKM kita juga harus lihat lebih banyak hal lagi. Soal model bisnisnya, apakah masih valid atau sudah perlu move on," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI