Jangan Senang Dulu Rupiah Menguat, Ini Analisis Ekonom Senior Faisal Basri

Rabu, 10 Juni 2020 | 18:08 WIB
Jangan Senang Dulu Rupiah Menguat, Ini Analisis Ekonom Senior Faisal Basri
Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi yang dipimpin Faisal Basri [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus menerus dalam beberapa waktu belakangan, dikarenakan membanjirnya suplai mata uang negeri Paman Sam tersebut di dalam negeri, akibat pemerintah menarik utang secara besar-besaran.

"Harus diingat bahwa rupiah menguat adalah refleksi dari pasokan dolar yang meningkat luar biasa masuk ke Indonesia dari utang global bonds," kata Faisal dalam sebuah diskusi online di Jakarta pada Rabu (10/6/2020).

Faisal menambahkan, Pemerintah Indonesia telah melakukan penarikan utang lebih banyak di saat pandemi Virus Corona atau Covid-19. Terakhir kali, pemerintah menerbitkan surat berharga negara (SBN) dalam bentuk global bonds seri RI0470 dengan tenor selama 50 tahun.

Penerbitan obligasi pemerintah senilai 1 miliar dolar AS tersebut memiliki imbal hasil atau yield 4,5 persen dan akan jatuh tempo pada 15 April 2070 mendatang.

Baca Juga: Nilai Tukar Rupiah Melempem, Balik Lagi ke Level Rp 14.000 per Dolar AS

"Nanti akan kita lihat global bonds ini, ada yang berupa valas yang 100 persen dimiliki asing. Kemudian ada setiap periode pemerintah itu mengeluarkan surat utang dari denominasi rupiah, bunganya tinggi sekali 7 persen, 8 persen. Nah, asing kan sekarang kelebihan likuiditas karena adanya dana stimulus quantitave easing dan mereka masuk ke Indonesia membeli surat-surat utang pemerintah karena bunganya, tetapi bukan untuk tujuan jangka panjang," paparnya.

Dari data yang dimiliki Faisal, sampai Desember tahun lalu, kepemilikan asing akan Surat Utang Indonesia untuk lokal quarancy bonds itu paling tinggi di dunia mencapai 38,7 persen.

"Jadi kalau Jepang utangnya sebagian besar dalam bentuk yen dan dipegang oleh masyarakatnya sendiri, nah kalau ada apa-apa jadi misalnya nih, prediksi Covid ini akan mengalami lonjakan pada 14 Juni, kemudian akibat New Normal yang dipaksakan itu munculnya bulan depan. Nah, pada saat itulah asing mulai menjual bonds-bonds-nya lagi, nanti BI harus turun tangan. Nah, keluarlah cadangan devisa," katanya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai penguatan yang terus terjadi terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak terlalu baik. Hal itu karena akan mempengaruhi daya saing ekspor Indonesia.

"Terkait dolar ini operasi moneter Pak Gubernur BI baik, tapi ini agak-agak terlalu kuat nih Pak Gubernur," kata Airlangga dalam video teleconference di Jakarta, Selasa malam (9/6/2020).

Baca Juga: Setelah Menguat Beberapa Hari, Rupiah Diprediksi Masuk Fase Konsolidasi

Menurut Ketua Umum Partai Golkar ini, ketika mata uang rupiah terus menguat justru merugikan para pelaku eksportir dalam negeri, karena nilai dolar yang makin lama makin murah, sementara hampir sebagian besar transaksi ekspor menggunakan dolar AS.

Akibatnya juga, penerimaan negara dari sektor devisa juga menurun karena harga satuan dolar yang makin turun.

"Jadi daya saing kita agak alrming juga, jadi penguatannya Pak Gubernur harus di adjust (penyesuaian) dikit nih Pak," katanya.

Berbeda dengan Airlangga, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyambut gembira dengan pergerakan nilai tukar rupiah yang saat ini sudah tembus di bawah level Rp 14.000. Atas perkembangan ini dirinya pun bersyukur.

"Alhamdulillah dengan rahmat Allah SWT bagi ekonomi Indonesia, siang ini rupiah sudah tembus di bawah Rp 14.000," kata Perry dalam video teleconference di Jakarta, Jumat (5/6/2020).

Dia pun optimistis bahwa penguatan mata uang garuda terhadap dolar AS akan terus terjadi, karena Perry menilai rupiah masih undervalued.

"Itu menunjukkan penguatan sejalan pandangan kami bahwa nilai tukar rupiah untuk hari ini kami pandang undervalue sehingga ke depan berpotensi menguat," kata Perry.

Lebih lanjut, Perry mengatakan, bahwa faktor yang membuat rupiah terus menguat karena rendahnya laju inflasi dan defisit transaksi berjalan. Dari data Badan Pusat Statistik terungkap, inflasi pada Mei 2020 sebesar 0,07 persen (month to month/mtm) dan 2,19 persen (year on year/yoy).

"Interest rate differential SBN 7,06 persen untuk 10 tahun. Suku bunga US treasury 0,8 persen berarti perbedaannya 6,2 persen itu tinggi perbedaannya dan sebagai salah satu imbal hasil investasi aset keuangan, Indonesia masih tinggi. Itu salah satu indikatornya,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI