“Dari banyak sistem manajemen keselamatan migas di dunia selalu ada kelemahan di lapangan karena berbagai faktor seperti keterbatasan sumber daya dan hal-hal baru. Untuk itu dibutuhkan adaptasi ketika menerapkannya di lapangan,” kata Syamsul merujuk pengalamannya di Chevron maupun Pertamina.
Pendapat ini juga diamini Alvin Alfiansyah, salah satu pembicara yang bergabung dari Qatar. Menurut Alvin, perbedaan budaya di negara perusahaan beroperasi juga turut mempengaruhi sistem keselamatan migas yang dianut.
“Harus ada integrasi dari beberapa sistem keselamatan migas yang harus dipadukan. Misalnya, ExxonMobil, Shell, yang punya saham di Qatar Gas wajib menyesuaikan model keselamatan migas yang dianut sebelumnya. Harus ada integrasi di antara mereka agar tujuan keselamatan menjadi tercapai,” ujar Alvin yang sejak 2017 bergabung di Qatar Gas usai meninggalkan Chevron.
Sementara Timbul P Gurning lebih menyoroti sistem keselamatan migas yang selama ini cenderung hanya mengadopsi dari proyek sebelumnya. Menurut Gurning, klien maupun kontraktor kerap mengabaikan aspek HSE sejak awal.
Baca Juga: Petinggi Bank Indonesia Diperiksa KPK Terkait Mafia Migas
Padahal, HSE harus mendemonstrasikan risiko dan penanganannya dan sejak awal harus sudah terindentifikasi.
“Rohnya harus ada sejak awal. Jangan hanya copy-paste dari proyek-proyek sebelumnya,” ujar Gurning.
Untuk itu, Gurning mengharapkan agar peranan supervisor lebih ditingkatkan lagi guna mencapai sistem keselamatan migas yang lebih mumpuni.
“Supervisor itu bukan sekadar pengawas di lapangan. Kalau perlu lakukan audit secara berkala,” tukas Gurning.
Baca Juga: Pekerja Migas Non Bojonegoro Diminta Balik Kampung, Ini Respons Khofifah