Suara.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dipertanyakan kredibiltasnya karena harus merevisi dua kali target asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020, akibat pandemi virus corona atau Covid-19, hanya hitungan hari.
Dalam konfrensi pers secara virtual pada Senin kemarin (18/5/2020), Sri Mulyani mengatakan pemerintah merevisi kembali target asumsi makro 2020. Dalam target terbaru, sorotan tertuju pada soal defisit anggaran yang diperkirakan akan melebar melebihi 6,27 persen.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan, perubahan defisit dalam postur APBN oleh pemerintah, tentunya karena pemerintah bisa mengeksploitasi kewenangan yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan aturan Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang diketok palu dan disetujui oleh DPR RI pada tanggal 12 Mei 2020 lalu.
Dalam aturan tersebut, pemerintah mempunyai kewenangan mendesain APBN defisit selama tiga tahun ke depan, di atas 3 persen, sesuai dengan kebutuhan, tanpa persetujuan DPR.
Baca Juga: Anggaran Pas-pasan, Sri Mulyani Siapkan Lima Jurus Pembiayaan APBN 2020
"Dalam konteks perubahan-perubahan angka defisit, bukan tentang salah dan benar,yang menjadi polemik, karena kita seluruh rakyat Indonesia (melalui perwakilan di DPR RI) memberikan kewenangan penuh, ibaratnya memberikan gembok dan kuncinya, kepada Pemerintah," kata Ajib dalam keterangan persnya, Selasa (19/5/2020).
Untuk selanjutnya, kata dia, yang perlu dikritisi dan cermati secara konstruktif adalah konteks kredibilitas dan akuntabilitas.
"Kredibilitas adalah kualitas dan kapabilitas untuk bisa dipercaya, yang memerlukan alat ukur. Sayangnya, dalam hitungan hari, pemerintah merevisi sendiri postur dan kedalaman tingkat hutangnya ketika dibandingkan dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2020. Perbedaan selisih Rp 175,6 Triliun atau setara dengan defisit tambahan 1,2 persen PDB adalah angka yang cukup signifikan," kata Ajib.
Dari sisi akuntabilitas pertanggungjawaban atas keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan APBN ini harus dilaksanakan oleh pemerintah kepada rakyat.
Secara filosofis, rakyat, sebagai pembayar pajak, yang akan mengukur tingkat akuntabilitas pemerintah. Ini adalah bentuk akuntabilitas vertikal, dari pemerintah untuk rakyatnya.
Baca Juga: DPR Minta Menkeu Segera Sampaikan Perubahan Asumsi Makro APBN 2020
"Sampai akhir tahun ini, rakyat akan melihat, seberapa kredibel dan seberapa akuntabel pemerintah dalam mengelola APBN, setelah dipersenjatai dengan Perppu Nomor 1 tahun 2020," katanya.