Kopi Sarongge dan Petani di Masa Pandemi

Kamis, 14 Mei 2020 | 19:35 WIB
Kopi Sarongge dan Petani di Masa Pandemi
Petani kopi Sarongge (ist)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Tapi sesungguhnya, tanpa diminta siapa pun, petani tetap bekerja di masa pandemi ini. Terlebih pekerja tani, yang hidup dari upah harian. Libur adalah malapetaka buat mereka. Juga untuk petani gurem yang tanahnya kurang dari 0,2 ha. Mereka tetap bekerja di kebun. Anjuran untuk diam di rumah, atau bekerja dari rumah, terdengar ganjil di telinga petani.

Kopi Sarongge yang telah dikemas (dok. Tosca Santoso)
Kopi Sarongge yang telah dikemas (dok. Tosca Santoso)

Para petani kopi di Sarongge, memasuki masa panen raya Mei- Juni ini. Mereka antusias ke kebun, memetik kopi yang sudah lama ditunggu. Tak bisa ditunda. Karena telat memanen, berarti akan terlalu matang. Dan kurang bagus untuk diolah basah (fullwash) yang jadi pilihan utama dalam paska panen kopi di Sarongge. Mau tak mau, panen harus dilakukan, meski Cianjur masuk pada tahap PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar 6-19 Mei. Petani terbiasa bekerja dengan ritme, yang disesuaikannya dengan alam.

Maka anjuran supaya gunakan sisa hujan untuk tanam tanaman pangan, bisa jadi bumerang. Kebanyakan petani akan pikir seribu kali untuk mulai tanam, ketika hujan tinggal sedikit. Pilihan tanaman harus yang tahan kering, sanggup hidup meski kurang air. Padi bukan pilihan. Bahkan di tempat dengan irigasi baik, mereka akan hitung, apakah air masih akan ada saat dibutuhkan? Apalagi di tempat huma tadah hujan. Tidak ada petani yang menanam padi di ujung penghujan. Titi mangsa mengajarkan mereka : tanam padi di awal musim hujan.

Singkong mungkin masih cocok untuk penghujung masa hujan. Ia hanya butuh air sedikit di awal tanam. Lalu akan bertahan, meski sisa waktunya kering. Tetapi menganjurkan tanam singkong di lahan petani yang begitu sempit, akan kurang didengar. Nilai ekonominya terlalu murah. Waktu panennya lama. Singkong cocok untuk, tanaman pagar, menambah ketahanan pangan keluarga tani sendiri.

Baca Juga: Cegah Penyebaran Corona, Nikaragua Bebaskan 2.815 Narapidana Kecuali Tapol

Yang paling fatal dari antisipasi kurang pangan ini adalah rencana buka sawah baru. Menko perekonomian mengatakan sawah baru akan dicetak di Kalimantan Timur, daerah gambut. Ini sungguh tak belajar dari kesalahan masa lalu. Rezim Soeharto pernah mencoba proyek sawah sejuta hektar di Kalimantan Tengah dan gagal total. Gambut bukan lahan yang cocok untuk sawah. Apalagi, sekarang begitu banyak informasi tentang pentingnya merawat gambut untuk iklim global kita. Membuka lahan gambut untuk sawah, bukan rencana yang sejalan dengan moralitas zaman baru yang peduli lingkungan.

Biji kopi hasil para petani Sarongge (ist)
Biji kopi hasil para petani Sarongge (dok. Tosca Santoso)

Dan sawah super luas di tempat terpencil itu, punya kelemahan praktis : tidak ada petani yang kerja di sana. Cerita gagalnya sawah sejuta hektar di Kalteng, danfood estate di Merauke, membuktikan hal itu. Sawah adalah kerja manusia. Letaknya harus dekat dengan tempat tinggal mereka. Tak ada sawah tanpa manusia.

Memperbaiki sawah yang rusak di Jawa, Bali dan Sumatera, adalah langkah efektif untuk naikkan lagi produksi beras. Memperluas perhutanan sosial di Jawa dan Sumatera, dapat signifikan menambah produksi pangan. Tak hanya beras. Tetapi juga singkong, jagung, ubi, sorgum. Sagu dapat digalakkan di hutan-hutan adat, oleh masyarakat Indonesia Timur.

Sesungguhnya, daripada berpikir tentang food estate yang mengandalkan pemodal besar -- yang besar juga daya rusaknya pada hutan -- Pemerintahan Jokowi lebih baik melanjutkan gagasan perhutanan sosial. Ini akan melibatkan belasan juta keluarga tani. Ekonomi mereka bergerak, dan pasok pangan lebih terjamin. Percayakan kepastian pangan kita pada orang banyak. Jutaan petanilebih baik, ketimbang lima-enam investor kakap yang mementingkan ambil kayu hutan ketimbangmemastikan pasok pangan.

Di Jawa, tantangan terbesar perluasan perhutanan sosial adalah keengganan Perhutani. Meski sekarang, BUMNyang dipercaya mengelola 2,5 juta ha hutan di Jawa itu,telah menunjuk direktur khusus di bidang perhutanan sosial, pandangannya tentang hutan dan petani, belum banyak berubah. Hutan milik mereka. Petani hanya numpang. PHBM, pengelolaan hutan bersama masyarakat, sudah lama punya konotasi demikian. Hubungan yang timpang antara pemilik dan petani yang menumpang pakai lahan.

Baca Juga: Video Parodi Emak-emak Penjual di Pasar Senen, Warganet: Bah, Pas Kali!

Perkebunan kopi Sarongge (dok. Tosca Santoso)
Perkebunan kopi Sarongge (dok. Tosca Santoso)

Sedangkan dalam perhutanan sosial, hubungan dibuat setara. Perhutani dan petani adalah partner. Karenanya hak dan kewajiban ditulis terang. Izin tertera 35 tahun. Hubungannya bukan lagi patron-klien. Perlu kerelaan Perhutani melepas previlegenya sebagai patron. Hubungan baru itu, sesungguhnya dapat lebih produktif untuk keduanya. Petani lebih tenang berproduksi, karena jaminan legal jangka panjang. Perhutani dapat berlaku sebagai offtaker atas produk-produk mereka.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI