Kisah Lahirnya Kopi Sarongge, Produk Unggulan Asal Cianjur

Kamis, 14 Mei 2020 | 18:50 WIB
Kisah Lahirnya Kopi Sarongge, Produk Unggulan Asal Cianjur
Kopi Sarongge yang telah dikemas (dok. Tosca Santoso)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kopi Sarongge, salah satu produk kopi unggulan asal Cianjur, Jawa Barat dengan cita rasa unik. Kopi yang lahir dari kaki Gunung Gede ini menjadi andalan para petani di Sarongge, kampung kecil yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur, menggantungkan hidupnya.

Mereka yang dulunya bergelut dengan tanaman sayuran, kini menjadikan kopi sebagai penghasilan utama mereka.

Dibawah binaan Tosca Santoso, sang inisiator kopi Sarongge, para petani tak hanya membuat asap di dapur terus mengepul, melainkan juga telah berhasil mengembalikan hutan di Sarongge.

Wujud kecintaan Tosca Santoso dalam lingkungan sudah tak perlu diragukan lagi. Bahkan, jurnalis senior sekaligus pendiri Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) itu juga pernah ditangkap saat mendampingi petani Cimacan yang tanahnya hendak dijadikan lapangan golf Cibodas pada 1986.

Baca Juga: Diminta Cuti Tanpa Dibayar, Pegawai Gugat United Airlines

Berikut kisah lahirnya kopi Sarongge, kopi berkualitas dengan cita rasa dari hutan yang terjaga.

Perhutanan Sosial, Lahirnya Kopi Sarongge

Petani tak bisa jauh dari tanah. Kebun adalah semangat dan daya hidup mereka. Maka tak lama setelah hutan di kaki Gede itu ditutup, sebagian anggota Koperasi Sugih Makmur, sudah rindu cangkul dan bau tanah. Tentu saja sebab utama adalah sumber asap dapur belum aman. Bahkan setelah program adopsi pohon selesai.

Awal 2014, di bawah pimpinan Dudu Duroni, sekira 20 petani meminta izin, menggunakan tanah desa di kaki Gn. Geulis. Lokasi yang sering disebut Pojok Tunggilis itu, masih satu desa dengan Sarongge. Hanya terpisah jalan raya, penghubung Bogor-Cianjur.

Atas dukungan perangkat Desa Ciputri, mereka dibolehkan berkebun sayur di sana. Membawa pengetahuan dari Sarongge, mereka tanam wortel, sawi, brokoli dan berbagai jenis sayur seperti di kampung asalnya. Toh lokasi hanya berjarak sekira 5 km. Tetapi ternyata berkebun sayur di sana hasilnya tak sebagus di Sarongge. Karena beda ketinggian, cuaca di sini lebih panas. Tanahnya pun lebih tipis lapisan hara. Beberapa petani langsung balik badan, ketika hasil sayur tak sebagus yang diharapkan. Dudu bertahan.

Baca Juga: Jalin Kerja Sama dengan RS, Pemkot Surabaya Kerja Keras Tangani Covid-19

Bersama Yayasan Prakarsa Hijau Indonesia (GIF), kami kembangkan pola adopsi pohon di lahan desa. Bukan pohon hutan, tetapi buah-buahan : nangka, alpukat, jeruk limau. Pohon buah dipilih karena, selain menambah tutupan bukit-bukit tanah desa, juga menambah penghasilan petani. Rupanya tanah di Tunggilis memang cocok untuk buah-buahan.Hingga  suatu waktu, Dudu dan kawan-kawannya berpikir untuk menanam kopi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI