Suara.com - Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, polemik naiknya iuran BPJS Kesehatan dalam
Peraturan Presiden (Perpres) nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebetulnya tak perlu lagi diperdebatkan.
Pasalnya sistem yang dibangun BPJS Kesehatan adalah kegotong royongan, di mana yang mampu membantu masyarakat yang lain yang tak mampu.
"Kehadiran Perpres kembalikan nilai fundamental program ini, program bersama gotong royong berkontribusi satu sama lain," kata Fahmi dalam video teleconference di Jakarta, Kamis (14/5/2020).
Menurutnya dengan kenaikan iuran ini, pemerintah bisa menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik dan berkesinambungan bagi masyarakat.
Baca Juga: Ribka Tjiptaning: Pajak Bisa Dibebaskan, Kenapa Iuran BPJS Naik?
"Jadi perpres ini dalam rangka negara hadir, negara sudah membayari 132.600.906 jiwa dan Perpres ini akan biayai ini," katanya.
Sebelumnya BPJS Kesehatan mengalami defisit yang cukup dalam. Hingga akhir 2019, defisit BPJS tercatat sebesar Rp 15,5 triliun. Tapi perlahan defisit itu bisa dikurangi karena bantuan dari pemerintah.
"Dari gagal bayar kita yang cukup besar di 2019 Rp 15,5 triliun sudah perlahan kita lunasi sehingga RS sudah semakin baik cashflow-nya," pungkas Fahmi.
Presiden Jokowi kembali menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Juli 2020 mendatang, kepastian kenaikan iuran tersebut berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam Perpres tersebut, disebutkan jika Iuran BPJS Kesehatan Kelas I naik menjadi Rp 150.000. Kelas II naik menjadi Rp 100.000 dan Kelas III menjadi Rp 35.000.
Baca Juga: Habis Lebaran Buruh KSPI Gugat Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan