Kopi Sarongge dan Kisah Petani Kembalikan Hutan

Rabu, 13 Mei 2020 | 19:22 WIB
Kopi Sarongge dan Kisah Petani Kembalikan Hutan
Biji kopi hasil para petani Sarongge (ist)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bagi para pecinta kopi tentu pantang melewatkan kopi khas Cianjur, Jawa Barat, yakni kopi Sarongge. Kopi yang ditanam di kaki Gunung Gede itu bukanlah sekadar kopi biasa pada umumnya.

Sarongge adalah nama sebuah kampung di kaki Gunung Gede yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur. Di sana pohon-pohon kopi ditanam di ketinggian 1.000-1.600 mdpl.

Tosca Santoso, sang inisiator kopi Sarongge telah sukses membina para petani di kampung kecil itu. Tak hanya sekadar menanam pohon-pohon kopi, Tosca telah membantu menyukseskan pogram reforestasi di lahan tersebut.

Jauh sebelum mengelola kebun kopi, Tosca punya sejarah pajang sebagai seorang jurnalis. Ia juga menjadi salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Baca Juga: Pakai Wadah Botol, AAN Siram Istri Pakai Air Keras hingga Jatuh dari Motor

Berikut kisah singkat perjalanan Tosca Santoso dalam membangun kopi Sarongge yang menggetarkan lidah para pecinta kopi.

Kisah Petani Kembalikan Hutan

Bukit-bukit di atas kampung Sarongge itu, kini terlihat rindang. Rasamala, puspa, saninten, suren, ki hujan, tumbuh berdampingan. Sebagian sudah 20 meter tingginya. Pakis purba muncul di sana-sini, tanpa pernah ada yang menanam. Tanda hutan mulai pulih. Udara segar.

Banyak satwa mendatangi hutan kecil, yang dua belas tahun lalu, masih berupa kebun sayur. Dua belas tahun. Waktu yang lama untuk menunggu. Tapi berharga untuk dijalani, ketika hasilnya adalah hutan yang kembali. Saya terlibat bersama masyarakat Sarongge, memulihkan hutan di kaki Gunung Gede. Di area yang termasuk dalam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Ikhtiar yang perlu dicatat.

Tiga punggungan bukit kecil itu, dinamai : Pasir Leutik, Pasir Tengah dan Pasir Kidul. Luasnya sekira 38 ha.Bertahun-tahun, petani Sarongge mengolahnya untuk kebun sayur. Sejak area itu masih di bawah Perhutani. Ada 150 keluarga yang menggantungkan hidup di sana, dengan menanam sawi, kol, brokoli dan sayur lain.

Baca Juga: Kabar Ada yang Corona, Karyawan Kitto Swalayan Surabaya Diminta Rapid Test

Petani kopi Sarongge (ist)
Petani kopi Sarongge (ist)

Tahun 2008, saya jumpa petani-petani itu, dan mengajak mereka menghutankan kembali kebun sayurnya. Karena bukit-bukit itu telah jadi bagian dari taman nasional, yang menurut aturan tak boleh ditanami sayur. Presiden Megawati Soekarnoputri mengubah status lahan di kaki gunung itu, dari Perhutani ke TN Gunung Gede Pangrango pada 2003.

“Jadi kami akan diusir?” gugat Dudu Duroni, ketua kelompok tani. Pada pertemuan pertama kami di madrasah kampung itu. Saya sedang jelaskan tentang program adopsi pohon. Selama tiga tahun pertama, pohon endemi ditanam, petani masih boleh tanam sayur di sela bibit pohon hutan. Kalau pohonnya makin tinggi, sayur tak cocok lagi. Ini dengan lugas ditangkap Dudu, sebagai cara mengusir petani.

Saya berhenti menjelaskan adopsi pohon. Kabut turun tiap sore dari kaki Gede. Juga pada hari pertemuan itu. Bercampur rupa-rupa asap rokok yang memenuhi madrasah. Kami bercerita sana-sini. Tak fokus lagi pada tema pertemuan. Salah satunya adalah pertanyaan,” Berapa penghasilan berkebun di kaki gunung itu?” Dudu menyebut angka.

Saya menawarkan, “kalau penghasilan dari usaha lain lebih besar dari itu, apa mau turun dari gunung?”
“Mau,” jawab Dudu cepat. Bertani di gunung itu mahal ongkosnya. Pupuk harus diangkut ke gunung. Biaya panen lebih tinggi. Mereka terpaksa bertani di sana, hanya karena tak punya lahan lain.

Maka program adopsi pohon – yaitu petani menanam pohon endemi di area yang akan dihutankan, dengan dana sumbangan dari pengadopsi pohon; sedikit kami modifikasi. Petani turun dari gunung, bukan ditarget waktunya. Tetapi kalau penghasilan lain sudah lebih tinggi dibanding berkebun di gunung.

Biji kopi hasil para petani Sarongge (ist)
Biji kopi hasil para petani Sarongge (ist)

Sejak pertemuan itu, kami rajin mengumumkan program adopsi pohon di Green Radio – radio dengan perspektif lingkungan yang dulu mengudara di Jakarta. Sekarang sudah mati-.  Kami ajak pendengar ikut mengadopsi pohon. Rp 108 rb/pohon. Bisa ditanam sendiri atau ditanam oleh petani. Lalu pohon itu ditandai dengan GPS. Supaya pengadopsi tahu di mana lokasi pohonnya. Dan kalau mereka sempat, dapat menengok kapan saja.

Program ini menarik minat kelas menengah Jakarta. Mereka berpartisipasi menghutankan lagi bukit gundul, mengurangi banjir di ibukota, tanpa banyak repot. Hanya sekali menyumbang, pohonnya dirawat petani. Kalau sedang longgar dan ingin nikmati udara desa, mereka bisa tengok pohonnya ke Sarongge. Sejak 2008 itu, banyak tokoh yang mengadopsi pohon : Faisal Basri, Jimly Assidiqie ( waktu itu Ketua MK), Teten Masduki, sekarang Menteri Koperasi, juga kalangan seni : Goenawan Mohamad, Ayu Utami, Olga Lydia. Seribu lebih individu tercatat ikut adopsi pohon. Olga Lydia tergolong rajin mengadopsi pohon. Ia punya seratus pohon adopsi, yang kini sudah jadi hutan mini.

Perusahaan juga senang ambil bagian. Astra Internasional, Bodyshop, Four Seasons Hotel, Toshiba, Unilever dan banyak perusahaan lain. Mereka adopsi pohon dan gunakan kesempatan menanam untuk acara keakraban karyawannya. Pemilik Bodyshop Indonesia, Suzy Hutomo, bahkan membuat vlog tentang hutannya dan mengunggah di saluran youtube nya. Keterlibatan perusahaan membuat jumlah pohon adopsi cepat meningkat. Sekira 22.000 pohon diadopsi, ketika program ini ditutup pada 2014.

Lebih dari separo dana dialokasikan untuk kegiatan ekonomi alternatif di luar kebun. Ada yang ternak kambing. Ternak kelinci. Para pemuda merintis kebun sayur organik. Ada juga yang mencoba industri rumahan seperti membuat sabun, minyak sereh, jamu hingga merintis ekowisata Sarongge. 

Produk- produk seperti Sabun Sarongge, Jamoe dan Teh Sereh Sarongge, sampai sekarang masih diproduksi dan dapat dibeli lewat pesanan online. Berbagai sumber ekonomi baru itu, menjadi gantungan mereka yang dulu berkebun sayur di taman nasional.

Sedikit demi sedikit, mereka yang telah dapat penghasilan di luar kebun, turun dari taman nasional. Sukarela. Tahun 2011, misalnya, setelah tiga tahun pohon endemi ditanam, Dudu memutuskan berhenti berkebun. Kami buatkan piagam untuk setiap petani yang sukarela turun. Penghargaan atas kesediaan mereka menghutankan kembali kebun sayur. Proses ini berjalan alamiah. Kadang 5 orang turun. Kadang hanya 3 orang. Tak ada jadwal. Tanpa tekanan. Kami hanya berupaya keras untuk terus mencari alternatif pekerjaan. Sambil merawat pohon-pohon adopsi.

Kisah petani Sarongge menghutankan lagi kebun sayur itu, rupanya terdengar sampai telinga Presiden SBY. Ia berkunjung ke desa di kaki Gede itu 8 Januari 2013. Ia ingin melihat sendiri hutan yang dipulihkan. Selain itu, presiden menanam pohon bersama belasan menteri dan pejabat tinggi lain. Desa heboh. Belum pernah pejabat tinggi sebanyak itu, datang ke kampung Sarongge.

Pohon SBY, rasamala, dan pohon yang ditanam almarhumah Bu Ani, sebatang ki hujan, sampai sekarang tumbuh subur, dan sering ditengok pengunjung perkemahan Sarongge. SBY datang dengan banyak bantuan. Sekolah, masjid, kegiatan ekonomi warga mendapat bantuan dana. Sebagian bantuan digunakan untuk membangun saung, tempat warga kini berkumpul dan berkegiatan.

Menteri LHK Siti Nurbaya di kampung Sarongge, Cianjur, Jawa Barat (ist)
Menteri LHK Siti Nurbaya di kampung Sarongge, Cianjur, Jawa Barat (ist)

Saung Sarongge, ikon desa itu, mulai digunakan tak lama setelah kunjungan SBY. Dan hadiah terbaik untuk warga adalah diberikannya izin kelola eco wisata atas hutan yang dipulihkan itu, kepada koperasi petani: Koperasi Sugih Makmur. Mereka dipercaya negara memanfaatkan hutan, untuk tujuan wisata dan pendidikan. Izin untuk Koperasi Sugih Makmur itu berlaku sampai sekarang.

Selain hal positif, kunjungan presiden juga membawa konsekuensi baru. Petani yang masih berkebun sayur diberi tenggat. Harus turun sebelum Agustus 2013. Negara mempercepat proses turun itu dengan memberi santunan bulanan, kepada mereka yang belum dapat alternatif kerja. Hutan di ujung Sarongge itu, secara resmi ditutup untuk kebun sayur.

Saya lihat petani yang sadar kebunnya harus dihutankan itu, menanggung beban berat ketika dihadapkan pada tenggat. Ada beberapa keluarga yang istrinya terpaksa berangkat jadi TKW. Saya selalu terharu kalau mengingat pengorbanan itu. Maka, saya putuskan untuk terus mendampingi petani Sarongge, meski program adopsi pohon sudah selesai.

Petani Sarongge selalu mengingatkan saya akan Tiga O. Slogan mereka tentang hubungan petani dan hutannya. Leweung hejO. Reseup nu nenjO. Patani ngejO. Hutan hijau. Senang yang melihatnya. Petani bisa menanak nasi. Pendeknya : Hutan terjaga, kalau petani sekitarnya sejahtera

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI