Suara.com - Pemerintah telah mengusulkan perubahan APBN 2020 kepada DPR. Desain makro APBN tahun 2020 komposisinya pendapatan negara dipatok turun, semula Rp 2.233,2 triliun menjadi Rp 1.760,9 triliun, dan belanja negara naik, semula Rp 2.540,4 triliun menjadi Rp 2.613,8 triliun.
Perubahan ini berkonsekuensi pada melebarnya angka defisit APBN. Semula defisit APBN dipatok pada kisaran Rp 307,2 triliun (1,76%) menjadi Rp 853 triliun (5,07%).
Untuk menjalankan desain APBN tahun 2020 ini pemerintah dan otoritas keuangan akan menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Tantangan tersebut kata Ketua Badan Anggaran DPR, MH Said Abdullah antara lain. Pertama, pemerintah harus bisa memenuhi kebutuhan pembiayaan dengan mengandalkan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar sebesar Rp 654,5 triliun. Langkah ini harus ditempuh pemerintah untuk menambal defisit APBN yang meningkat menjadi 5,07%.
Baca Juga: Layani Lelaki Hidung Belang, Seorang WTS Tak Tahu Dibayar Pakai Uang Palsu
Akibat sedikitnya ruang fiskal pemerintah inilah utang jadi pilihan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan pemerintah dalam merombak APBN. Selain banyak belanja yang sifatnya mandatory karena perintah UUD 1945 dan undang undang, seperti anggaran pendidikan 20%, anggaran kesehatan 5%, dan dana desa 10%, juga masih terdapat belanja rutin yang utak atiknya tidak longgar.
Kedua, dalam situasi ekonomi demestik dan global mengalami slowing down, Banggar DPR berharap masih banyak investor yang berminat dengan global bond yang diterbitkan pemerintah. Hingga 3 April 2020, justru banyak investor non residen melepas SBN senilai Rp 135,1 triliun. Keadaan ini akan menjadi tantangan pemerintah.
Ketiga, bila pandemi covid-19 menantang untuk “bermain panjang”, maka alokasi anggaran penanganan covid-19 berikut jaringan pengaman sosial dan program pemulihan ekonomi sebesar Rp 405,1 triliun berpotensi tidak mencukupi.
Konsekuensinya, kebutuhan pembiayaan akan semakin membesar, apalagi penerimaan dari pajak, dan sumber daya alam berpotensi mengalami penurunan sebagaimana yang telah diproyeksikan.
Keempat, kemampuan Lembaga Penjamin Simpanan untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penjaminan, dan penanganan bank sistemik dan non sistemik tidak memiliki anggaran yang memadai.
Baca Juga: Kronologi Sudi Bantai Bayi karena Tidak Dapat Uang Bantuan Corona
Karenanya, melalui Perppu No 1 tahun 2020 pemerintah memberi antisipasi dengan dukungan pinjaman dari pemerintah dan Bank Indonesia. Artinya, kebutuhan pembiayaan untuk support LPS makin besar.
Kelima, Bank Indonesia makin berat tanggungjawabnya, sebab sesuai Perppu No 1 tahun 2020, Bank Indonesia berkewajiban menjadi lender last resort untuk pembelian SBN, pinjaman dan likuiditas jangka pendek kepada perbankan dan membeli repo surat berharga yang dimiliki oleh LPS.
Akibatnya, Bank Indonesia harus mampu memenuhi kecukupan modal, namun tidak serta merta bisa menggunakan cadangan devisa semuanya untuk memenuhi hal ini.
Atas pertimbangan keadaan di atas, Badan Anggaran DPR RI merekomendasikan langkah langkah strategis dan antisipatif, khususnya kepada Bank Indonesia.
Langkah strategis tersebut diantaranya. Pertama, Bank Indonesia mencetak uang pada kisaran Rp 400 – 600 triliun untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan pemerintah dan LPS serta likuiditas perbankan nasional.
"Bank Indonesia harus mengambil langkah berani dan memiliki terobosan (breakthrough). Sebab bila mengandalkan kebijakan konvensional, maksimal yang meredam tekanan terhadap pasar keuangan, tetapi tidak mampu menyuplai optimal kebutuhan likuiditas," kata Said Abdullah, Selasa (12/5/2020).
Kedua, hasil cetak uang dapat dijadikan alternatif pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah dari global bond.
"Bukankah dengan hasil cetak uang dapat ditawarkan ke perbankan, pemerintah dan LPS dengan yield yang lebih rendah daripada global bond. Saya merekomendasikan yield pada kisaran 2-2,5%. Melalui kebijakan ini, pemerintah akan memiliki beban bunga yang lebih rendah," ucapnya.
Ketiga, bahwa kebijakan mencetak uang tentu berakibat pada peningkatan inflasi dapat dimitigasi dengan berbagai instrument pengendalian yang wewenangnya dimiliki Bank Indonesia, misalnya melalui BI Rate dan kewenangan penetapan Giro Wajib Minimum (GWM).
Keempat, langkah-langkah terobosan di atas adalah bentuk sharing pain Bank Indonesia terhadap situasi krisis ini. Jadi Bank Indonesia tidak semata mata menikmati untung akibat selisih kurs dan bunga pinjaman. Tetapi sama-sama ikut merasakan situasi krisis yang dihadapi oleh segenap rakyat.
"Demikian rekomendasi kami, agar kiranya menjadi bahan perhatian dan pemikiran serius Bank Indonesia sesegera mungkin," pungkasnya.