“Saya masih melihat kecenderungan surplus ini baik di bulan April atau Mei karena memang ada penurunan impor barang baku, industri kita saat ini melambat, maka permintaan akan bahan baku, juga melambat. Itu sebetulnya bukan berita bagus kalau kita lihat ini bisa menganggu ekspor,” tambahnya.
Pemerintah pasti sudah cukup antisipatif dengan melakukan relaksasi kebutuhan impor, terutama impor bahan baku kebutuhan industri yang memang dibutuhkan untuk melakukan proses produksi kemudian diimpor lagi.
“Kita lihat trendnya sepanjang Januari sampai Maret. Jadi yang kita lihat pada trend ekspor impor ini adalah kenaikan eksport non-migas pada Februari–Maret terjadi meskipun harga rata–rata ekspor non-migas itu turun, ini kenaikan dari sisi volume,” kata Fithra.
Menurutnya, pertama, pemerintah harus melakukan langkah antisipatif dengan relokasi impor bahan baku. Hal ini dikarenakan import bahan baku penting untuk mendukung keberlangsungan industri.
Baca Juga: BPS Gelar Survei Online Terkait Pemahaman Orang soal Corona
"Kalau industri produksinya tinggi, biasanya akan melakukan recovery lagi, maka kecenderungan ekspor ke depan terutama ekspor produk olahan akan meningkat," ucapnya.
Kedua, harus mencari pasar non-tradisional, sementara saat ini pemerintah masih tergantung dari China dan Amerika Serikat. Dengan adanya wabah COVID-19, harus dapat membuka peluang ke negara di Afrika yang tidak terdampak, bahwa demand juga cukup tinggi bisa menjadi salah satu target ekspor Indonesia ke depan.
“Selain membuka peluang pasar yang baru saya juga melihat ada peluang dari negara-negara yang bergantung pada China kini mulai mengalihkan negara asal importnya ke negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan,” kata Fithra.