Suara.com - Para pengusaha daur ulang plastik yang tergabung dalam Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) mengeluhkan tidak adanya insentif perpajakan menyusul terjadinya pandemi virus corona.
Keluhan itu mengemuka karena pemerintah memberikan insentif pajak bagi pelaku pengusaha yang lain, namun tidak untuk pengusaha daur ulang plastik.
"Ada ratusan kelompok industri yang mendapat keringanan pajak, tetapi kami para pelaku industri daur ulang plastik tak tersentuh," kata Ketua ADUPI Christin Halim dalam keterangannya, Rabu (1/4/2020).
Mulai 1 April 2020, pemerintah memberi empat insentif kepada wajib pajak yang terdampak pandemi Covid-19. Ketetuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 tahun 2020.
Baca Juga: Terungkap Alasan Mengapa Penyu Kerap Makan Plastik
Keempat insentif tersebut terkait dengan ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Insentif PPh Pasal 21 diberikan kepada para pemberi kerja dari klasifikasi 440 lapangan usaha dan merupakan perusahaan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).
Pemerintah menanggung PPh Pasal 21 dari pegawai dengan penghasilan bruto tetap dan teratur, yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 200 juta per tahun.
Berikutnya insentif PPh Pasal 22 Impor, yang dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang.
Wajib Pajak yang dibebaskan dari pungutan ini adalah usaha yang sesuai dengan kode klasifikasi dan telah ditetapkan sebagai Perusahaan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).
Baca Juga: Kurir Blibli Bisa Tampung Kardus dan Plastik Bekas Pembelanjaan
Selanjutnya, insentif berupa pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30 persen dari angsuran yang seharusnya terutang. Wajib Pajak memenuhi kriteria akan mendapat insentif ini sampai dengan masa pajak September 2020.
Pemerintah juga memberi insentif terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria.
Christine Halim menuturkan, keempat insentif perpajakan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan tak bersinggungan dengan kegiatan usaha daur ulang plastik. Padahal, menurut dia, industri daur ulang plastik juga terdampak pandemi virus corona seperti industri yang lain.
"Saat ini semua industri sedang lesu. Pemerintah memberi relaksasi melalui Peraturan Menteri Keuangan, tapi industri daur ulang plastik tak dilihat oleh pemerintah," katanya.
Christine Halim khawatir bakal banyak pengusaha yang gulung tikar terutama jika pandemi corona tak segera berakhir. Dari semua pajak itu, KLU (Klasifikasi Lapangan Usaha) perusahaan daur ulang tidak ada.
"Kalau pada bangkrut, nanti setelah badai corona berlalu, siapa yang ngurus sampah plastik?" katanya.
Sementara itu Ketua Umum Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Prispoly Lengkong mengaku kaget jika relaksasi insentif tidak diberikan kepada industri daur ulang, padahal industri ini berperan penting dalam menjaga lingkungan.
“Makin gawat saja kalau memang pemerintah tak memberikan relaksasi insentif. Karena di industri ini ada ekosistemnya yaitu pemulung, pelapak, dan UKM,” kata dia.
Dalam kondisi pandemic Covid-19, ia banyak menerima keluhan dari pemulung yang tidak bisa jual plastiknya karena banyak pelapak tutup. Pelapak terpaksa tutup karena UKM dan industri juga untuk sementara tak melakukan pembelian plastik dulu.
“Pemulung sebagai garda terdepan pengumpul plastik jelas terkena dampaknya. Mohon kiranya pemerintah dapat mengorek kebijakan tersebut agar industri dan ekosistem daur ulang bisa tumbuh,” kata Prispoly.