Anak Muda Asal Indonesia Ini Masuk Tokoh Forbes Under 30

Iwan Supriyatna Suara.Com
Senin, 23 Maret 2020 | 16:40 WIB
Anak Muda Asal Indonesia Ini Masuk Tokoh Forbes Under 30
CEO & Co-Founder Xendit, Moses Lo.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tangan dingin Moses Lo membawa Xendit lebih populer di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara sebagai startup financial technology (fintech) penyedia sistem pembayaran (payment gateway).

Moses Lo sebagai CEO & Co-Founder Xendit pun menjadi perbincangan. Anak muda yang masuk tokoh Forbes’ 30 Under 30 ini siap membawa Xendit menjadi unicorn Indonesia berikutnya.

Bahkan dia bermimpi membangun perkumpulan (alumni) Xendit, mendukung Xenpeeps untuk membangun bisnisnya sendiri.

Semua berawal dari misi untuk membuat proses pembayaran menjadi lebih mudah, cepat, layanan yang hebat, dan aman yang membantu para pelaku usaha di Indonesia.

Peluang itu terbuka lebar karena melihat transformasi digital ekonomi di Indonesia dan Asia Tenggara yang begitu cepat, dan membutuhkan Xendit untuk membantu memproses pembayaran, membantu marketplace menyederhanakan pembayaran, mengirimkan pembayaran dan pinjaman, mendeteksi penipuan dan membantu bisnis bertumbuh secara eksponensial.

Berdiri resmi tahun 2015, Xendit membuktikan diri mampu menyediakan layanan kelas dunia yang memudahkan proses transaksi, hingga dipercaya UMKM lokal hingga startup terbesar di Indonesia dan juga bisnis besar seperti Traveloka dan Tiket.com.

Hanya dalam 4 tahun, ribuan pelaku bisnis lainnya mempercayakan sistem pembayaran bisnis mereka ke Xendit, baik itu e-Commerce, Platforms and Marketplaces, Gaming, Insurance, dan Travel.

“Ide awal kami adalah untuk memajukan infrastruktur pembayaran di Indonesia. Kami berharap dengan produk yang ditawarkan, kami dapat membantu melahirkan generasi unicorn selanjutnya. Kami ingin startup, UMKM dan bisnis lainnya dapat tumbuh cepat tanpa harus mengkhawatirkan tentang infrastruktur pembayaran, sehingga mereka dapat benar-benar berkonsentrasi pada hal-hal yang lebih penting,” kata Moses Lo dalam keterangannya, Senin (23/3/2020).

Menurutnya, Xendit dapat memberikan kontribusi positif untuk PDB Internet di Indonesia dengan membantu proses pembayaran UMKM, startup hingga korporasi besar di Indonesia. Hal ini tentunya memiliki efek positif yang besar bagi perekonomian negara.

Baca Juga: Kembali Puncaki Forbes, Taylor Swift Jadi Selebriti Terkaya 2019

Sebut saja Traveloka, Tiket.com, Travelio, Garuda Indonesia dalam bisnis agen perjalanan online, bisnis perhotelan dan platform wisata. Allianz, Ciputra, PasarPolis, Qoala untuk jenis bisnis asuransi.

Kemudian Bukalapak, Lazada, Suzuki, Cohive, Samsung, Tribehired untuk jenis platform and marketplaces. Travelio.com, Oaken, Wish, untuk jenis bisnis e-Commerce, dan masih banyak lagi seperti Unicef, WWF, Techinasia, dan lainnya. Para pelanggan yang punya nama besar dan tentunya punya kontribusi penting bagi ekonomi Indonesia.

Menurut Moses Lo, Xendit adalah jawaban atas permintaan sebagian besar pengusaha yang memiliki kendala dalam menemukan sistem pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan dan standar mereka.

Melalui beberapa eksperimen product market-fit, Moses dan co-founder Xendit, Tessa Wijaya, memutuskan untuk fokus dan membangun payment gateway setelah mendapatkan umpan balik dari beberapa calon pelanggan potensial.

Xendit memprioritaskan tiga hal, kecepatan (integrasi yang cepat), kesederhanaan (integrasi mudah, penetapan harga yang sesuai), layanan terbaik (tim customer service yang responsif).

Percaya atau tidak, Xendit memproses jutaan transaksi tiap bulan, bertumbuh 25 persen tiap bulannya selama 2 tahun terakhir. Dengan dukungan 200-an talenta muda berkualitas (yang mereka sebut Xenpeeps) dari seluruh dunia menciptakan produk unggulan dan memberikan nilai-nilai baik bagi pelanggan Xendit.

Posisi itu semakin bertambah kuat karena Xendit dipercaya dan didukung oleh beberapa venture capital (VC) terbesar di dunia, yang berinvestasi pada Facebook, Slack, Twitch dan Grab, dan merupakan alumni dari akselerator bergengsi YCombinator (S15). Tidak mengherankan kemudian jika Xendit mengokohkan dirinya sebagai salah satu payment gateway terbaik di Indonesia dan Asia Tenggara.

Minat Komputer dan Keuangan Sejak Kecil

Moses Lo memang sosok yang menarik. Tokoh Forbes’ 30 Under 30 ini lahir dan tumbuh dari keluarga pengusaha. Kakeknya yang tidak memiliki latar belakang pendidikan apapun menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri. Ayahnya kemudian masuk ke dunia wirausaha dan Moses pun tumbuh di lingkungan tersebut.

“Mimpi saya saat masih sekolah adalah untuk memulai bisnis saya sendiri dan membangun sesuatu yang dapat memberikan dampak positif besar kepada sekitar,” kata Moses yang mengenyam pendidikannya di Amerika Serikat. Ia meraih gelar MBA dari UC Berkeley.

Moses ingat ketika berusia 12 tahun, ketika dia pertama kali membongkar komputernya dan berhasil memasangnya kembali. Hal itu lah awal mula kecintaan Moses Lo terhadap komputer, dan tertarik dengan software (perangkat lunak).

Dia menemukan informasi mengenai sistem cadangan fraksional (fractional reserve banking), di mana bank-bank komersial dapat secara efektif meningkatkan pasokan uang di luar uang pokok yang dibuat oleh bank sentral.

Menurutnya pada saat itu, sistem tersebut sangatlah menarik untuk mencetak lebih banyak uang. Kira-kira pada waktu yang sama, keluarganya mendapatkan komputer pertama mereka dan hal pertama yang dia lakukan adalah membongkar komputer.

“Dua minat ini terus tumbuh dalam diri saya. Maka dari itu, saya memilih untuk belajar sistem informasi dan juga keuangan saat di bangku kuliah. Saya selalu ingin berada di antara dua hal yang saya minati, yaitu teknologi dan keuangan,” ucapnya.

Moses tumbuh dari keluarga yang sangat menghargai etika kerja. Ia percaya bahwa dalam mengerjakan sesuatu, “Everything is a game, play it different”. Ia mengingat pernah menerapkannya dalam salah satu kompetisi public speaking saat kecil.

“Saat saya ikut serta dalam kompetisi public speaking, saya dan ibu saya akan membedah aturan kompetisi. Kami mencoba memainkan permainan secara berbeda dibandingkan dengan bagaimana kebanyakan orang memainkannya. Melalui cara ini, saya dapat meraih kemenangan di kompetisi public speaking tersebut walaupun saya tidak memiliki bakat public speaking yang alami. Startup juga adalah tentang berkompetisi, namun dengan cara yang berbeda," kata Moses.

Moses sangat mengagumi Indonesia, negara yang menurutnya mulai dari pemerintahannya sampai perusahaan-perusahaan yang kecil mencerminkan budaya startup. Setiap entitas selalu berusaha mencari solusi yang tepat untuk mencapai kesuksesan.

“Indonesia adalah negara yang cantik. Hal-hal yang saya lihat di ibukota ini sangat mencerminkan budaya startup, di mana orang-orangnya terus bereksperimen untuk menemukan jalan keluar terbaik untuk para pengguna dan pelanggannya," tuturnya.

Kesulitan Awal: Produk dan SDM

Moses Lo menyebut ada sejumlah hambatan saat membangun bisnis startup. Persoalan pertama adalah soal “product market-fit” Dalam hal ini, seringkali startup tidak punya gambaran yang jelas apa yang diinginkan oleh pelanggan dan apakah produk yang ditawarkan ini dibutuhkan pelanggan.

“Sebagian besar startup tidak melakukan ini mereka membangun aplikasi yang mereka inginkan, lalu berharap mereka dapat menjualnya ke publik. Maka dari itu, lebih baik mencari tahu dulu baru membuat sesuatu,” saran Moses.

Kemudian hambatan berikutnya adalah mencari orang yang tepat. Persoalan disini, kata Moses Lo, bakat itu sulit ditemukan, terutama ketika bersaing dengan unicorn-unicorn di Indonesia. Apa yang dia lakukan adalah memberikan tawaran kepada sekelompok teman dan menawarkan apa yang membuat mereka lebih baik daripada unicorn.

“Kami mengatakan bahwa kami belajar coding dari UC Berkeley. Kami tidak dapat membayar Anda lebih banyak dari perusahaan lain tetapi kami dapat pastikan bahwa Anda akan bekerja dengan teman-teman terbaik Anda. Kami juga akan mengajari Anda tentang coding seperti bagaimana kami belajar tentang coding. Kami mengirimkan penawaran tersebut ke 10 orang dalam 1 grup pertemanan dan berharap 2-3 mengiyakan penawarannya. Ternyata, 10 orang tersebut mengatakan iya. Kami sangat senang akan respon positif tersebut, dan kami terus mengajak grup teman-teman di sekitar kami untuk bekerja bersama di Xendit,” sambungnya.

Transformasi

Menurut Moses Lo, selama 4 tahun perjalanan Xendit, pihaknya terus melakukan transformasi. Ketika karyawan mereka berjumlah sampai 10 orang, Moses mengakui tidak tahu apa yang mereka lakukan, dan mereka terus bereksperimen sampai menemukan sesuatu yang dapat berhasil.

Ketika karyawan bertambah 10-50 orang, mereka bekerja sama dengan sangat baik melawan semua masalah, mencoba melayani beberapa pelanggan yang mereka miliki dan bertumbuh bersama.

Ketika jumlah karyawan terus bertambah menjadi 100, saat itu mereka sangat peduli dengan budaya yang diterapkan di Xendit. Mereka melakukan 1:1s (sesi dengan manajer untuk bimbingan agar dapat terus tumbuh di perusahaan ini-Red) dengan semua karyawan dan memberlakukan feedback session. Masalah dan kegagalan masih sering terjadi dan mereka terus belajar.

“Kami sudah mulai memiliki product-market fit yang pas, dan kami sangat menikmati proses pengembangan bisnis ini,” ucapnya.

Kemudian, saat mereka sudah punya hingga 250 karyawan, sambung Moses Lo, hanya di bawah setahun tim Xendit menjadi semakin besar. Mereka harus membayar kembali utang teknis, menskalakan infrastruktur dan produk kami agar sesuai dengan permintaan konsumen. Budaya Xendit diuji karena mereka banyak merekrut tetapi disaat yang bersamaan harus memastikan budaya Xendit tetap terasa.

“Saya senang karena para pendatang baru dan orang yang lebih senior terus memberikan umpan balik yang positif tentang betapa hebatnya budaya di Xendit,” kata Moses.

Mendukung Perkembangan Pribadi Tim Xendit

Selain ingin berkontribusi bagi lahirnya generasi unicorn selanjutnya melalui produk yang ditawarkan, serta membangun efek positif bagi perekonomian Indonesia, Moses Lo ternyata punya misi pribadi untuk diwujudkan.

“Misi pribadi lain adalah untuk membangun perkumpulan (alumni) Xendit. Kami ingin Xenpeeps dapat memulai bisnis yang bermanfaat bagi negara ini, dan berpotensi menjadi unicorn berikutnya. Karena alasan ini, kami menghabiskan banyak waktu untuk berinvestasi ke karyawan kami, dan memastikan budaya kami tetap kuat meskipun tumbuh dengan cepat,” harap Moses.

Dia sendiri yakin akan bisa mendorong terwujudnya impian itu. Apalagi posisi Xendit saat ini tengah berada di awal sesuatu yang luar biasa.

“Dilihat dari skala ekonomi digital, pencapaian kami tahap awal sudah luar biasa, dan penetrasi yang cukup baik dan bisa dipacu lebih tinggi lagi. Jika kita melihat ekonomi negara maju, mereka berada pada penetrasi 10-30 persen. Itu berarti kita setidaknya memiliki pertumbuhan yang besar di depan kita. Itu peluang besar," tuturnya.

Ketika ditanya apa saran dia kepada generasi muda Indonesia yang sedang membangun perusahaan startup, Moses Lo sangat semangat melihat perkembangan generasi pendiri startup selanjutnya. Hanya saja selama dalam pengamatannya berada di lingkungan startup ini, dirinya telah melihat banyak orang membuat kesalahan, sehingga perlu dibenahi. Apa saja?

Pertama, kata Moses, “Bangunlah sesuatu yang orang inginkan”. Menurut Moses, kebanyakan pendiri startup mempunyai berbagai macam ide, kemudian langsung membangunnya dan berharap semua orang akan menggunakannya.

Satu hal yang sangat dia percaya dan terus dia terapkan adalah untuk memaksa tim berbicara dengan 30 orang sebelum mereka bahkan mulai mengutarakan sebuah ide. Pilih pelanggan yang kira-kira membutuhkan produk Anda, lalu selesaikanlah masalah mereka. Jika Anda tidak berbicara dengan pelanggan, jangan heran jika tidak ada yang mau menggunakannya

Kedua, Moses menyarankan untuk fokus pada inti bisnis. Menurutnya, orang Asia memiliki kecenderungan dan ingin mengerjakan semua hal. Dan ternyata hal ini adalah sebuah strategi yang buruk. Jika Anda memiliki kapasitas ekstra, ubah upaya tersebut untuk meningkatkan sesuatu yang benar-benar penting.

“Misalnya, apakah Anda (sebagai pemilik bisnis) ingin membangun sistem pembayaran sendiri sementara kami memiliki lebih dari 100 orang untuk memecahkan masalah tersebut untuk Anda. Meskipun Anda 50 kali lebih baik dari kami, namun untuk menciptakan sistem yang sama baiknya dengan yang telah kami bangun akan memakan waktu kurang lebih 4 tahun,” kata Moses.

Selain itu diungkapkan, Venture capital (VC) dan pemberi sumber dana menghabiskan 100 persen waktu mereka berurusan dengan dana. Sebagai pendiri, dia menggalang dana setiap 2 tahun sekali. Ini berarti ada ketidakseimbangan informasi yang besar antara VC dan pendiri.

“Cara Anda menyeimbangkan kembali hal tersebut adalah dengan belajar dari para pendiri startup yang lain. Ajukan berbagai macam pertanyaan kepada seseorang yang telah melakukannya sebelumnya,” sambungnya.

"Contohnya, jangan berikan 50 persen dari perusahaan Anda di seri pertama. Jika VC menawarkan itu kepada Anda, kemungkinan besar mereka adalah VC yang buruk. Jika Anda menerimanya, Anda berhasil memberikan sinyal kepada semua investor bahwa Anda tidak membutuhkan investasi lagi kedepannya," tutup Moses.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI