Suara.com - Pemerintah harus menanggung konsekuensi dari kebijakan pembebasan pajak penghasilan selama 6 bulan yang baru saja dirilis dalam paket stimulus jilid II. Konsekuensi tersebut menciptakan jurang defisit penerimaan pajak yang makin melebar saja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemberian stimulus fiskal ini demi mereduksi atau meminimalisir dampak penyebaran virus corona terhadap perekonomian nasional.
"Stimulus itu totalnya Rp 22,9 triliun dan ditambah kita akan pelebaran defisit 0,8 persen setara Rp 125 triliun, ditambah paket (stimulus) pertama Rp 10,2 triliun. Jadi sektor konstruksi sudah masuk sektor pertama, sehingga paket yang dikeluarkan Rp 160 triliun," kata Airlangga Hartarto di kantornya, Jumat (13/3/2020).
Sejumlah paket stimulus fiskal tersebut lanjut Airlangga secara jelas menggangu aliran masuk kas negara, sehingga diprediksi defisit APBN akan bertambah 0,8 persen menjadi Rp 125 triliun. Sebelumnya dalam APBN 2020, defisit ditetapkan 1,76 persen PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, gelontoran stimulus fiskal ini demi melawan perlambatan ekonomi akibat virus corona, Sri Mulyani menuturkan, peristiwa ini merupakan kejadian yang sangat luar biasa.
"Kita akan memberikan skema relaksasi pembayaran PPh pasal 21 dengan memberikan bahwa yang biasanya membayar apakah itu perusahaan atau masyarakat sendiri kita akan bentuk ditanggung pemerintah 100 persen atas penghasilan pekerja yang memiliki income sampai Rp 200 juta per tahun," kata Sri Mulyani Indrawati di Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (13/3/2020).
Stimulus ini diberikan bagi para pekerja di sektor manufaktur selama kurun waktu 6 bulan kedepan (April-September). Ada 19 sektor dalam industri manufaktur yang akan mendapatkan stimulus ini.
Nilai besaran yang ditanggung pemerintah sebesar Rp 8,60 triliun dari yang diharapkan para pekerja di sektor industri pengolahan tersebut mendapatkan tambahan penghasilan untuk mempertahankan daya beli.
Yang kedua relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor (PPh Pasal 22 Impor). Relaksasi diberikan melalui skema pembebasan PPh Pasal 22 Impor kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE IKM.
Baca Juga: Corona Mewabah Jakarta, Anies Tutup Ancol, Ragunan hingga Monas
"Pembebasan PPh Pasal 22 Impor diberikan selama 6 bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pembebasan sebesar Rp 8,15 triliun. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor)," kata Sri Mulyani.
Ketiga relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25). Relaksasi diberikan melalui skema pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE-IKM selama 6 bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pengurangan sebesar Rp 4,2 triliun.
Sebagaimana halnya relaksasi PPh Pasal 22 Impor, melalui kebijakan ini diharapkan industri memperoleh ruang cashflow sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor dan negara tujuan ekspor). Selain itu, dengan upaya mengubah negara tujuan ekspor, diharapkan akan terjadi peningkatan ekspor.
Keempat relaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Relaksasi diberikan melalui restitusi PPN dipercepat (pengembalian pendahuluan) bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE-IKM. Restitusi PPN dipercepat diberikan selama 6 bulan, terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan besaran restitusi sebesar Rp 1,97 triliun.
"Tidak ada batasan nilai restitusi PPN khusus bagi para eksportir, sementara bagi para non-eksportir besaran nilai restitusi PPN ditetapkan paling banyak Rp 5 miliar. Dengan adanya percepatan restitusi, Wajib Pajak dapat lebih optimal menjaga likuiditasnya," pungkasnya.
Selain stimulus fiskal pemerintah juga memberikan paket stimulus non-fiskal guna melengkapi paket kebijakan stimulus fiskal yang telah disampaikan, Pemerintah juga telah menyiapkan paket kebijakan non-fiskal yang bertujuan untuk lebih memberikan dorongan terhadap kegiatan ekspor-impor.
Sebelumnya Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah pun pesimistis dengan langkah tersebut, menurut dia insentif fiskal tersebut tak cukup mendongkrak daya beli.
"Pasti tidak cukup apalagi di tengah kondisi seperti sekarang ini," kata Piter di Kantornya, Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Tapi Piter mengapresiasi langkah cepat pemerintah tersebut, menurutnya ini penting untuk merespon dinamika ekonomi yang berdampak virus corona.
"Tapi pemerintah patut diapresiasi karena mau bergerak cepat," katanya.
Saat ini yang terpenting kata Piter, Pemerintah harus mengeluarkan jurus-jurus terbaiknya demi menggairahkan para pelaku usaha ditengah-tengah ketidakpastian yang makin membesar.
"Ini masalahnya adalah ketidakpastian yang besar, investor itukan butuh kepastian khususnya di sektor keuangan. IHSG sekarang turun, nilai tukar rupiah melemah tapi sekarang otoritas seperti BI punya kesadaran yang cepat," ujarnya.