Suara.com - Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menyebut adanya potensi kerugian negara (PKN) dalam kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya sebesar Rp 16,9 triliun.
BPK pun merinci PKN dari investasi saham Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana Rp 12,16 triliun.
Namun demikian, Pengamat Kejaksaan, Fajar Trio Winarko menyebut penyidik sejatinya belum bisa menggunakan hasil BPK itu sebagai bukti pelengkap untuk memproses persidangan kasus Jiwasraya.
Alasan Fajar karena Korps Adhyaksa harus mengingat kembali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 seperti telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Baca Juga: Saat Erick Thohir dan Kepala BNPB Salam Siku di Stasiun Gambir
"Artinya, delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materil. Yakni mensyaratkan ada akibat yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata alias pasti. Penyidik pun harus menghitung kerugian negara tanpa berdasarkan 'asumsi' PKN BPK tersebut," kata Fajar dalam keterangannya, Jumat (13/3/2020).
Sebagai informasi, MK menyatakan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya, demikian bunyi amar putusan bernomor 25/PUU-XIV/2016.
Jika Jaksa Agung ST Burhanuddin masih memaksakan PKN tersebut sebagai bukti korupsi, bisa dikatakan telah mengabaikan putusan MK yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Jangan sampai Jaksa Agung ingin menegakkan hukum tapi harus melanggar hukum yakni abai terhadap delik materil UU Tipikor. Sebab kerugian negara itu harus riil, jika masih potensi ya belum voltoit dong kasusnya," ujarnya.
Fajar pun mempertanyakan apakah ada agenda lain dalam pemidanaan Jiwasraya ini. Hal ini terlihat dari sikap Menteri BUMN Erick Thohir, yang sudah ancang-ancang menjual semua aset yang disita penyidik seperti perusahaan tambang hingga Mall Cilandak Town Square.
Baca Juga: Semprot Disinfektan di Stasiun Gambir, Erick Thohir Bantah Pencitraan
"Kasus Jiwasraya ini kan belum disidangkan, proses hukum juga masih berjalan dan belum inkrah. Kok pemerintah ibaratnya sudah ingin menjual aset sitaan, seakan abai dan tidak menghormati proses penegakan hukum yang ada. Kondisi ini bikin saya bertanya-tanya, apakah ada agenda lain yang sedang disusun pemerintah? Jangan kayak premanlah," ujarnya.
Kondisi inilah, lanjut Fajar, menimbulkan sentimen negatif melebihi penyebaran COVID-19 di pasar bursa.
"Investor sepertinya mulai sadar bahwa jika penegakan hukum Indonesia masih seperti ini, maka mereka tak lagi mempercayai pasar saham Indonesia dan memilih menaruh dananya dalam bentuk obligasi," katanya.
Sementara Pakar Hukum Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad menilai Kejaksaan Agung harus memproses hukum ini sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Kejaksaan hendaknya terus berjalan dengan berpedoman pada hukum formil dan materiil," kata Suparji.
Pendapat itu diberikan agar Jaksa Agung ST Burhanuddin dan jajarannya tidak melakukan perbuatan melawan hukum dalam menegakan hukum. Sebab, kata dia, penegakan hukum harus sesuai hukum acara agar tidak dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
"Untuk itu, penyidik Kejaksaan Agung harus bisa membuktikan kerugian negara secara materil," ujarnya.